Sunday, April 25, 2010

Cuti Mendadak dan Melakukan Perjalanan Ala Backpacker

Pada tanggal 1 April 2010 pukul 22.00 WIB saya mendapat telpon dari kampung, jauh di ujung sana Ayah saya mengatakan bahwa Nenek saya sedang sakaratul maut. Kemudian saya bersama Ibu, Ayah dan Adik mentalkin beliau untuk mengucapkan “Laaillaha Illa Allah”. Nenek saya pun wafat malam itu. Saya pun harus pulang ke Jawa secara mendadak dengan segala keterbatasan yang ada.

Express Air

Besok paginya, kantor libur saya ijin melalui telpon dengan beberapa pimpinan dan langsung pulang ke Pangkalan Bun. Saya pun langsung mencari tiket pesawat yang melayani penerbangan rute Pangkalan Bun – Semarang. Wah, tidak disangka kantor yang dulu ditempati Riau Airlines saat ini ditempati oleh maskapai baru namanya Express Air. Saya ambil cuti dari hari minggu sampai tembus hari minggu berikutnya. Untunglah, saya mendapat harga miring karena masih promosi PKN – SRG Rp. 550.000,- dan baliknya SRG – PKN Rp. 450.000,-. Harga tiket rata-rata rute PKN – SRG berkisar 700-an ribu.

Pada hari minggu saya pun berangkat ke Bandara Iskandar pagi-pagi karena rumah yang saya tempati bersama istri jauh di kecamatan. Pesawat yang saya tumpangi datang tepat waktu (soal e aku pernah pesawat dari PKN – JKT ki jadwal jam 15.00 delay sampai jam 21.00). Begitu naik ke pesawat, suasananya sangat berbeda. Pelayanan yang sangat ramah, dan satu yang penting pramugarinya tidak hanya sopan di mulut tapi pakaian mereka pun rapi dan sopan. Setelah take off, para penumpang dibagi segelas air mineral dan “Roti Burger” isi daging yang berukuran lumayan besar. Wah, lumayan ini. Sudah jarang saat ini naik pesawat ekonomi dibagi makanan seenak ini. Biasanya jika ada paling segelas air mineral.

 

Ojek dan Taxi Non Bandara

Perjalanan ditempuh dalam waktu 45 menit normal dan alhamdulilah normal penerbangan 45 menit sudah landing di Bandara Ahmad Yani Semarang. Satu masalah besar yang menghantui bagi para Backpacker, Bandara ini tidak memiliki angkutan khusus bandara seperti di Surabaya atau Jakarta (Jika ada DAMRI khusus biasanya cukup dengan Rp. 10.000,- kita sudah bisa sampai di terminal pemberhentian bis antar kota). Pilihannya hanya taxi bandara yang dalam kota tarifnya Rp. 50.000,- dan luar kota menyesuaikan jaraknya (waduh remuk Cak! Aneh banget padahal ibukota propinsi Jawa Tengah wekekek, untuk kawan blogger yang dekat dengan Pemkot Semarang, cepat diusulkan atau kita tulis saja ramai-ramai di blog dan koran biar terbaca sama birokrat He3x).

 

Awalnya saya ingin mengikuti saran teman kantor saya yang pernah tinggal dan kuliah di Semarang. Yakni berjalan dari pintu kedatangan ke pintu keberangkatan lalu mencegat taxi non bandara yang baru menurunkan penumpang dari luar. Cara seperti ini bisa menghemat separuh, cukup dengan Rp. 25.000,- kita sudah bisa ke tempat mangkalnya bis jurusan Solo. Rupanya, cara ini samasekali tidak bisa dilakukan karena hari sudah sore, jarang sekali taxi luar yang mengantar penumpang. Saya pun tak kurang akal, saya naik becak Rp. 10.000,- keluar sampai bundaran pintu masuk bandara dan bertemulah saya dengan Pak Akhmad Ojek. Cukup dengan Rp. 20.000,- saya diantar ke tempat berhentinya bis patas menuju kota Solo. Tak lupa saya pun meminta nomor HP tukang ojek yang baik hati itu (bahasa tutur katanya bagus banget Cak! Apa karena aku wong Jatim yo? Jadi ketoke halus).

 

Bis Patas Sopir Ekonomi

 

Lalu saya pun diturunkan di perempatan tempat Bis jurusan ke Solo mangkal. Setelah berbasa-basi dan bertukar nomor HP saya pun naik Bis PO. Safari. Entah karena macetnya jalanan atau sopirnya yang kurang cakap. Perjalanan dari Semarang ke Solo ditempuh dalam waktu 4 jam (wadew padahal baliknya pake PO. New Ismo cepat banget kurang dari tiga jam).

 

Turun di Terminal Tirtonadi Solo awalnya saya ingin mengenang masa kuliah dengan naik Bis F1 Sumber Kencono. Namun setelah saya perhatikan ada Bis MIRA AC,  PATAS tapi tarifnya biasa. Di dalam bis hal yang pertama kali saya tanyakan adalah apakah bis SBY – JGJ sudah boleh ambil penumpang di jalur SRAGEN – JOGJA? Dan jawabannya tidak. Saya jadi heran, terus apa gunanya trayek? Trayek SBY – JGJ kok ambil penumpang dari mulai dari Sragen tidak boleh. (Masalahnya bis-bis yang jurusan Sragen-Solo-Jogja rata-rata sangat amat tidak nyaman sekali dinaiki. Sudah kaleng rombeng, copet dan pengamennya ampun dech. Jadi kalah jauh dengan Bis Jawatimuran Cak He3x).

Akhirnya setelah kurang lebih 2 jam saya pun sampai di Kota Ngawi tercinta (Keraton Ngawi Hadiningrat Cak!) yang sedang dipenuhi oleh poster pada kandidat pasangan yang akan mengikuti pilkada. Adik saya, menjemput dan kami pun pulang ke kampung kami. Pendekar Gunung Lawu kembali ke padepokan. Sampai di rumah perasaan haru dan sedih bercampur menjadi satu. (Mbah Edok selamat jalan semoga Allah SWT mengampuni segala dosa dan ditempatkan di tempat yang mulia di sisi-Nya, amiin).

 

Monday, April 12, 2010

Diktat Pelatihan CPNS Departemen Kehutanan: Tiga Langkah Sederhana Untuk Mencegah Departemen Kehutanan Tidak Punah.

Saat saya menulis status di facebook “Kapan Dephut membuat kebun Gaharu Cendana....” dan banyak reaksi yang muncul. Ada teman yang mengatakan, “Kamu buat saja dahulu, nanti kalau sukses khan dilirik Dephut.” (dilirik emang Gue cowok keren apaan? Ha3x). Ini menjadi bahasan pertama. Kita semua tahu bahwa sawit, karet, kakao dll sudah lama menjadi musuh para pecinta lingkungan (sok cinta lingkungan paling Cak! Jika mereka ditanya cara sejahterakan masyarakat juga nggak punya solusi) padahal sudah nyata tiga komoditi itu telah mensejahterakan rakyat kecil di seluruh penjuru negeri (sampai truck e wong transmigran nggonku ditulisi “Tani Makmur” karena dibeli dari hasil Sawit Cak).


Departemen Pertanian tidak menunggu orang membuat kebun sendiri tapi aktif mengeluarkan ijin untuk kebun-kebun tersebut dan memantau jalannya perusahaan dari mulai tanam sampai produksinya (Walah kalau itu, Dephut juga pernah pernah Cak, gawe ijin HPH dan HPHTI habis itu konfliknya terserah anda dengan kata lain rasakan sendiri he3x). Nah, berikut ini beberapa cara supaya Departemen Kehutanan yang saya cintai tidak tamat bin punah alias musnah:

1. Pilih Menteri dari kalangan profesional kehutanan.

Hal ini mungkin saran yang sangat klasik. Namun perlu diperhatikan dengan seksama. Apakah profesional kehutanan harus S.Hut? tidak selalu. Seorang pemegang gelar S.Hut pun jika basisnya seorang politisi atau pengusaha tetap saja bukan seorang profesional karena dia akan membawa banyak kepentingan apabila menjabat (emang ono sing lepas dari kepentingan? Ga mungkin Cak!). Paling tidak jika dia seorang yang profesional murni (Dosen, LSM, pendamping masyarakat hutan dll), mereka lebih bisa diajak berdiskusi dan mempunyai ilmu yang berbasis dari pengalaman di lapangan.

2. Pilih komoditas yang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Dephut sampai saat ini lebih senang mengurusi Acacia dan Eucalypthus (daripada mencari alternatif lain) yang secara komoditas pulp memang bersaing di dunia internasional namun untuk masyarakat nol besar. Permasalahan utama dalam dunia HTI di Indonesia adalah jenis yang ditanam jika di plasma-kan (biasanya bentuk HTR, PHBM, dll) minim sekali bisa dibilang hampir tidak ada untungnya bagi masyarakat. Jika dibandingkan dengan menanam tanaman semusim (singkong atau padi) saja mungkin lebih untung menanam tanaman semusim. Hal ini wajar karena jenis tanaman HTI itu harus diusahakan secara masal baru menguntungkan dan perlu jangka waktu relatif lama 5-7 tahun (dadi sing iso mik wong bermodal besar Rek! Koyo dapurmu rak iso!).


Apakah sampai disini saja kisah HTI? Tentu tidak. Bagi praktisi CSR seperti saya. Membuat masyarakat sejahtera dari HTI bukan hal mustahil. Bisa saja mengelola HTI, tapi buatlah buffer di desa-desa ring satu. Tanamkan karet (atau sawit sekalian) setiap 2 Ha/KK di semua desa di ring satu HTI anda. Pasti akan aman dan perusahaan HTI anda semakin kaya. Bayangkan saja, kita buat perjanjian bahwa hasil karet (atau sawit) yang disadap harus dijual ke Koperasi Karyawan HTI. Hasilnya karyawan perusahaan anda sejahtera, masyarakat sekitar sejahtera, konflik bisa ditekan dan satu hal yang penting, Industri kehutanan bisa juga ya memberikan kesejahteraan ke masyarakat (tidak hanya perkebunan). Indah sekali bukan? Ditambahkan program CSR lain juga lebih bagus lagi. Bidang pendidikan, kesehatan, UMKM (nek mumet, bisa undang saya. Walah terakhir e promosi Cak! He3x).


Selain itu ada cara lain, buat jarak tanam lebih lebar untuk kawasan HTI yang dekat dengan pemukiman. Tawarkan kepada mereka untuk menanam tanaman semusim diantara akasia tersebut sampai usia dua tahun biasanya masih bisa. Jika mungkin tertarik, tanami lahan mereka dengan akasia pola tumpang sari dengan Jagung (aku wis melakukan di Kal-Sel bisa dilihat buktinya). Opsi kedua, lahan dibagi, misal punya 5 Ha, tanam akasianya di 4 Ha yang 1 Ha tanami cabe, jagung, dll. Tanaman akasia yang 4 Ha juga bisa diberi tanaman sela Nilam, Jahe, Temulawak dll (makane wong HTI nek micek motone mik ndlujur wae yo hancur HTI-ne).


Selama ini rimbawan selalu bersembunyi di balik isu lingkungan untuk bisa memperbaiki hutannya. Seolah-olah hanya lingkungan satu-satunya alasan supaya kita ini melestarikan hutan. Naif sekali bukan? Ketika seorang bertanya kepada suku pedalaman, mengapa anda mengijinkan tambang dan kebun masuk ke wilayah desa anda? Karena pohon tidak menjawab kebutuhan kami, kami perlu makan, perlu pendidikan, perlu listrik seperti di Desa Transmigrasi. Banyak faktor. Jadi LSM dan segala aktivis yang mengatakan masyarakat pedalaman sangat mencintai hutan sebagai bagian hidup mereka itu hanyalah bualan saja, Mereka seperti itu tatkala belum terjadi evolusi. Saat ini informasi telah banyak masuk. Dulu mereka bisa hidup dengan ladang berpindah. Asal lumbung padi penuh, lauk dari memancing atau berburu (bagi mereka yang namanya duit saat itu nggak penting Cak, hebat to?). Tapi para aktivis itu tidak berpikir. Mereka juga menginginkan kesejahteraan seperti yang mereka saksikan di sekitar mereka.

Kita (kalau saya masih boleh mengaku orang kehutanan lho he3x) selama ini hanya menuntut masyarakat untuk membiarkan hutannya rimbun belantara namun kita tidak memberi solusi mengenai listrik mereka, pendidikan mereka, penghasilan mereka. Mereka dibiarkan berhenti pada satu rantai evolusi “berburu dan meramu” dengan ekstraksi langsung dari alam. Padahal kita paham betul bahwa hal tersebut tidak akan bisa dipertahankan. (Lucu Cak, awas lho Pak, kalau hutan ditebangi nanti banjir, longsor dll intine MATI. Lah gimana Pak? Kalau kami tidak menebang pohon tidak usah nunggu banjir dan longsor ya sudah mati duluan karena kelaparan Ha3x solusine kayak apa kiye? Dephut...3x aja turu bae Rika!)

Hal ini juga dialami hampir seluruh kawasan Taman Nasional (TN) di seantero Indonesia. Padahal kawasan TN sudah dibagi-bagi menjadi beberapa Zona. Ada yang disebut Zona Pemanfaatan, inilah Zona yang bisa dimainkan oleh rimbawan. Tanamlah karet. Pilih jenis yang mewakili “hutan”. Karet alam atau yang biasa disebut “panthung” dalam bahasa daerah. Tanam saja, ratusan hektar. Bagi menjadi beberapa kompartemen sesuai dengan jumlah desa yang ada di ring satu TN. Suruh mereka menyadap dan mengambil hasilnya. Otomatis TN akan aman, ditambah lagi jika ada pengembangan wisata alam dll.

3. Perbarui Keseluruhan Program Konservasi dan Rehabilitasi Lahan


Selama ini, Departemen Kehutanan dalam setiap program yang berbau konservasi dan reboisasi selalu mengedepankan lingkungan sebagai alasan utama. Itu benar dan sah-sah saja. Namun kondisi sosial masyarakat yang ada saat ini, semua hal tersebut menjadi sangat tidak efektif. Bagaimana cara membuat program konservasi yang efektif? Pindahkan dari alasan lingkungan ke alasan ekonomi (dadi dudu konservasi berbasis lingkungan sing ga jelas Cak! Tapi langsung konservasi berbasis duit!).


Kita ambil contoh, seorang Bapak dari NTT muncul di TV dengan kemauan keras beliau menanam bakau di sepanjang pantai pasca tsunami. Sampai dikatakan orang gila sama penduduk sekitarnya bahkan ada yang merusak. Lalu pemerintah (tentu saja melalui departemen terkait) memberikan penghargaan. Itu benar, tapi tidak tepat. Seolah kita memecah skenario Si Bapak adalah lakon utama dan masyarakat luas adalah penjahatnya. Apakah penduduk sekitarnya salah? Belum sepenuhnya, karena mereka benar-benar tidak tahu fungsi secara “ekonomi” tanaman bakau itu ada disitu. Coba jika mengikuti alur orang comdev (kayak saya ini lho he3x) buat tanaman bakau dikotak-kotak di tepi pantai yang pada akhirnya bisa menjadi perangkap bagi ikan untuk beranak pinak di dalamnya. Tanpa modal tapi bisa mendapatkan ikan yang banyak, dipanen dengan memperhatikan sisi ekologisnya, lalu dapatlah DUIT. Siarkan itu di TV secara nasional, kabarkan di Koran, sudah pasti “tanpa disuruh” masyarakat itu akan berlomba-lomba menanam mangrove karena ada keuntungan ekonominya.


Hal ini juga terjadi di banyak tempat. Hampir semua yang namanya program GN-RHL, Indonesia Menanam, dan program lain yang berbasis nanam menanam selalu tidak jelas. Apa keuntungan saya (secara ekonomi tentu saja) menanam pohon ini? Setelah besar ditebang atau dipelihara? Jika ditebang dijual kemana? Jika dipelihara, carbon trade itu makanan apa? Gimana cara klaimnya? (kabeh sarwo ga jelas!). Memang benar, program tersebut berbasis duit tapi yang untung orang tertentu saja (rekanan pengada bibit dan konsultan yang pasti). Kita bisa bayangkan uang begitu banyaknya hanya hilang tanpa ada hasil yang nyata secara ekonomi. (kemarin ada yang bilang mau nanam Aren he3x nggak usah itu mirip sawit nanti dikira njiplak, ada Gaharu Cendana mengapa milih kok tanggung banget). Kita harus malu sama Finlandia, hutannya saat ini mungkin hanya 10% dari Indonesia tapi hasilnya bisa sepuluh kali lipat daripada hasil hutan Indonesia. Nokia konon kabarnya asal usulnya juga dari hasil hutan.


Saat ini kita sudah mengalami kemunduran yang luar biasa. Dari dapartemen turun kasta menjadi Kementrian (mirip-mirip Kementrian LH Cak! jadi pengawaine ngapain akeh-akeh? wah bakal ada banyak pemecatan dan mutasian nich) PR utama kita rimbawan yang paling utama adalah “membuat masyarakat Indonesia begitu bernafsu untuk menanam pohon seperti bernafsunya mereka menanam Sawit, Karet dan Kakao.” Sederhana bukan? Siapa pun Menterinya kalau bisa seperti itu (semua yang saya tuliskan di atas itu lho Cak!), sudahlah Hutan Indonesia bukan berkurang malah bertambah bahkan SAWAH di Jawa pun bisa jadi HUTAN.



Wednesday, April 7, 2010

Ngawi Di Ambang Pilkada


Satu bulan lagi, kota kelahiran saya akan melaksanakan Pilkada. Ya, Ngawi sebuah kota yang mungkin jarang sekali orang mendengar sebelum munculnya Umar Khayam. Peristiwa kecelakaan yang menimpa artis senior Sophan Sopian mungkin menjadi salah satu faktor yang menjadikan Ngawi agak lebih dikenal (aneh yo Cak, malah terkenal goro-goro bencana wekekek). Selama ini, saya merantau sejak kuliah di Jogja kemudian bekerja beberapa tahun di Jogja, kemudian ke Jakarta dan empat tahun berikutnya berpindah-pindah tempat di Pulau Borneo.

Setelah sekian lama, ternyata tak banyak perubahan yang terjadi terutama dari greget Ngawi sebagai kota dengan posisi strategis di jalur pariwisata Jakarta - Jogja - Bali. Putra-putri terbaik Ngawi justru banyak menjadi birokrat di daerah lain (Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dll). Bisa dilihat di situs jejaring sosial Facebook. Banyak diantara mereka (kebanyakan yang saya tahu alumni SMU saya yang konon pada waktu itu adalah sekolah favorit Cak). Apa sebab mereka sampai keluar jauh melanglang buana? ya karena di Ngawi sendiri mereka tidak mendapatkan porsi yang cukup untuk berkreasi. Alumni UGM, ITB, IPB, IKJ, UNHAS, dll justru menjadi birokrat di luar daerah (aku ora termasuk Cak, aku hanya pekerja swasta pernah menjadi Wartawan, NGO, dan sekarang konsultan pemberdayaan masyarakat dan CSR di perusahaan).

Tak dapat dipungkiri dan telah menjadi rahasia umum bahwa seleksi penerimaan CPNS daerah biasanya terjadi permainan. Namun saat ini, di saat beberapa daerah di luar Jawa telah menyadari akan kekayaan sumber daya alam mereka dan sumber daya manusia yang handal sangat diperlukan. Mereka melakukan tes murni dengan menerima lulusan-lulusan terbaik dari Universitas terbaik di Indonesia. Sebagian dari mereka adalah putra-putri Ngawi.

Ini satu faktor yang membuat perbedaan yang begitu nyata antara Ngawi dengan daerah yang lain. Sumber daya manusia inilah yang bisa menjadi gudang ide bagi pengembangan sebuah daerah, misalnya Kabupaten Sragen sebagai penghasil padi organik yang terkenal sampai ke Tarakan (saat saya tinggal di sana cukup mahal harga padi organik dari Sragen) dan dari Tarakan banyak warga negeri jiran Malaysia yang juga berbelanja di kota ini.

Proses pemberdayaan masyarakat tidak berjalan, masyarakat cenderung dicekoki dengan program yang berbentuk uang (bukan money politik lho, maksudnya simpan pinjam, kredit dll) alias program Charity yang hanya giving giving dan giving. Padahal diantara orang Ngawi banyak yang bekerja di lembaga internasional seperti Oxfam GB. Saya pernah bertemu dengan seorang staff Oxfam GB yang ternyata berasal dari Ngawi. Kemungkinan besar ia juga bingung untuk melaksanakan program apa di Ngawi? karena supporting untuk itu sangat minim.

Di desa saya, saat ini sudah mengalami kebingungan secara sosiokultural. Hutan yang selama ini bisa menjadi tempat untuk makan sudah habis terbabat penjarahan. Perdebatan panjang tentu saja terjadi jika kita membicarakan siapa yang salah? namun itu tak penting. Masyarakat yang dulu jika amat terpaksa tidak punya uang, bisa menjual daun jati ke pasar, ranting jati untuk kayu bakar, dll saat ini tidak bisa lagi karena tanaman Jati masih kecil-kecil. (Terus kemarin yang bantai hutan bukan masyarakat? yo bener Cak, tapi banyak faktor, apakah Perhutani sudah melaksanakan pemberdayaan masyarakat sebagai wujud CSR-nya waktu itu? jangan berdebat masalah nggak penting yuk lanjut).

Sedangkan proses politik yang terjadi di Ngawi dari tahun ke tahun juga hampir tidak ada pendewasaan samasekali (baca tulisan saya pas sebelum ini). Orang berkampanye tanpa melakukan pemberdayaan. Padahal sudah banyak pelajaran dari daerah lain, dana kampanye 10 M balik jadi 20 M (karena diberdayakan, dibuat program, bukan dikasihkan mentahnya wehehehe...kasih kail bukan kasih ikan). Memang proses kampanye memerlukan waktu dua sampai tiga tahun namun hasilnya juga lebih terasa manfaatnya di masyarakat.

Saat ini saya sebagai putra Ngawi yang jauh di seberang Lautan mengingatkan saudara saya orang Ngawi. Jika sampai anda menerima uang dalam amplop demi satu suara anda. Yakinlah bahwa calon tersebut bukan pemimpin yang baik untuk anda. Cara kampanye seperti itu sudah kuno, dan secara teori kalau orang yang melaksanakan kampanye dengan cara paling purba berarti dia tidak mempunyai kapasitas yang cukup untuk memimpin. Carilah pemimpin yang cerdas, tidak ada salahnya juga anda melihat daftar riwayat hidupnya (curriculum vitae).

Saya ingin memberikan bocoran saja, potensi Ngawi yang bisa dikembangkan. Pertama ajak Perhutani kerjasama untuk mengelola forest floor (lahan yang berada diantara tanaman Jati) untuk ditanami jenis yang tahan naungan seperti iles-iles atau biasa disebut porang yang nama latinnya Amorphopallus oncophillus (di Nganjuk saya dengar sudah berjalan), atau empon-empon (Jahe, Kunyit, Temulawak, dll). Jika sukses panen dan hasilnya sampai ratusan ton bisa untuk memberdayakan masyarakat sekitar hutan. Buat organisasinya di tingkat desa, pilih pengurus yang baik (nek korupsi langsung digantung wae wekekek).

Untuk daerah persawahan, bisa mengembangkan padi organik kalau tidak takut saingan dengan Sragen. Bisa juga ditambahkan ikan lele (usaha mina tani). Jarak Ngawi - Jogja dekat saja, jika sudah panen tidak perlu bingung, hampir semua mahasiswanya doyan makan pecel lele sehingga jalan-jalan dipenuhi warung tenda pecel lele. Untuk daerah pegunungan, tanam kakao atau kopi dan di bawahnya sama dengan program pertama tanami lantainya tapi dengan jenis empon-empon. Oh ya, untuk empon-empon tugas Pemda untuk MoU dengan pabrik Jamu (masak kalah sama Bantul, Bupatinya saja sering MoU dengan perusahaan besar, warga suruh tanam cabe se-Bantul, harga cabe turun dibeli pakai uang Pemda. Kok nggak rugi? lha Pemda sudah MoU dengan perusahaan yang nampung cabe).

Nah, uraian di atas telah menunjukkan betapa banyaknya program cerdas yang bisa dibuat (juga menunjukkan betapa tidak adanya konsep cerdas yang berjalan di Ngawi sampai saat ini, yo semoga saja sudah ada cuma saya yang tidak tahu). Terakhir, sedulur-sedulur semua orang Ngawi, bijaklah menggunakan hak pilih sampeyan. Jangan hanya demi uang dalam amplop (pokok e nek ana duit neng amplop wis jelas calon e kuwi goblok ga gelem mikir, ga iso gawe program opo maneh mimpin! weleh-weleh sabar Cak! ojo atos-atos. Emosi aku!).

Popular Post