Friday, August 28, 2009

Tutorial Hidup Bahagia Ala Cah Angon

Sore masih teramat panas meskipun jarum arloji saya sudah menunjuk angka tiga. Tapi ini bukan masalah bagi saya, hari Sabtu adalah hari yang ditunggu-tunggu. Hari libur, waktu untuk bergembira bersama keluarga kecil saya. Setelah menahan kerinduan selama satu minggu bekerja di pedalaman. Untuk mendinginkan mesin motor dan mendinginkan penunggangnya (maklum puasa) saya pun memutuskan untuk beristirahat sejenak. Saya memperlambat laju motor untuk mencari tempat yang teduh.

Illustrasi diambil dari : www.bataviahunter.blogspot.com

Akhirnya saya menemukan tempat yang cocok. Sebuah tempat dengan pohon-pohon yang rimbun di pinggir jalan. Di depannya terhampar padang ilalang yang hijau dengan beberapa ekor sapi (jenis sapi Bali) sedang asyik memilah mana rumput yang enak untuk dimakan (ilalang kurang enak untuk sapi, emang pernah jadi sapi Cak? Durung tapi aku duwe sapi ndik Jawa). Ternyata saya tidak sendirian, seorang kakek tua berusia 70-an duduk sambil uro-uro (bernyanyi lagu Jawa). Setelah basa-basi sejenak kami pun memperkenalkan diri masing-masing. Kakek ini hebat juga, tak tampak bekal atau pun sekedar minuman pelepas dahaga. Memang benar, Kakek ini berpuasa sama seperti saya. Usianya yang lanjut dan pekerjaan di tempat panas sebagai penggembala (Cah Angon, wis tuo tapi tetap ae bocah Cak! Nek wong angon ki) tidak menghalanginya untuk beribadah di bulan suci ini.

Kakek ini ternyata memang orang alim, beliau Imam masjid di kampungnya. Beliau memberikan satu tip yang bisa saya beri nama ‘Tutorial Hidup Bahagia Ala Cah Angon’ seperti yang saya jadikan judul tulisan ini. Ia mengawali ceritanya dari kegiatan sehari-hari dahulu di Jawa yakni mencari rumput untuk sapi-sapinya (yang saat ini kegiatan itu tidak dilakukan karena sapi cukup dilepas di padang ilalang). Ia mencari rumput setiap pagi dengan peralatan sabit, keranjang bambu, dan sebuah ember untuk air minum sapinya. Untuk mencari rumput ia harus berjalan dua kilometer jauhnya, setelah sebelumnya menyeberangi sungai kecil di belakang rumahnya.

Ia membawa keranjang rumput di atas kepalanya (disunggi) sedangkan ember air ditenteng di tangan kanan. Tangan kirinya memegangi keranjang sehingga keseimbangan terjaga. Terkadang karena saking payahnya mendaki bukit, ia hilang keseimbangan dilepaskannya embernya (airnya terbuang) dan dipeganginya keranjang supaya rumputnya tidak tumpah berhamburan. Saya heran mengapa ia melakukan itu? Mengapa tidak menaruh embernya lalu baru menyelamatkan rumputnya?

Kakek itu tersenyum saat saya melontarkan pertanyaan itu kepadanya. Jawaban pertamanya, karena rumput lebih susah dicari sedangkan air dimana-mana. Tapi saya tetap mengejarnya dengan berbagai pertanyaan karena saya yakin bukan hanya itu maknanya. Akhirnya ia pun menjelaskan bahwa cerita itu adalah sebuah tamsil (analogi). Akhirat adalah rumput dalam keranjangnya, dunia adalah air dalam embernya. Jika akhiratnya goncang tidak usah berpikir lama, segera selamatkan meskipun kita harus melepaskan dunia. Jangan terbalik, dunianya goncang akhiratnya dilepaskan dan dipegangi dunianya. Manusia yang sukses adalah yang bisa membawa diri bisa selamat baik dunia maupun akhirat.

Ia pun melanjutkan, bahwa sebenarnya Agama ini (Islam) telah mengalami penurunan dari masa ke masa. Dahulu agama ini dijunjung tinggi di atas kepala umat Islam. Semua perintah dilaksanakan sami’na wa atho’na (saya mendengar dan saya melaksanakan). Inilah masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup. Kemudian agama ini turun ke Kepala, banyak pemikiran-pemikiran dari umat Islam sehingga muncul banyak penafsiran (antara lain terawih menjadi dua puluh tiga rakaat) inilah masa Khalafa’ur Rasyidin. Kemudian turun lagi ke Mulut, agama ini menjadi perdebatan di antara sesama kaum muslimin. Inilah masa ulama-ulama mahzab. Kemudian turun lagi ke Dada, ini termasuk masa kita. Orang mengucap syahadat sekali saja (biasanya pas nikah) dan ia tidak melakukan amalan apapun terutama shalat. Kemudian turun lagi ke Perut, ini juga masa kita saat ini. Demi satu kardus mie instant, satu karung beras, beberapa lembar uang, umat Islam rela melepaskan agamanya. Kemudian turun lagi ke bawah perut (maaf: Alat Kelamin). Demi pria atau wanita yang dicintai (namun beda agama), umat Islam rela melepaskan agamanya. Di masa sekarang hal ini banyak sekali terjadi.

Untuk itulah, saran Sang Kakek, kita harus menjaga supaya agama ini kembali naik jauh di atas kepala-kepala kita. Agama ini jangan dibiarkan turun karena jika turun lagi kemungkinannya adalah di kaki. Agama ini diinjak-injak dan kita tanpa sadar turut serta di dalamnya. Demikian apa yang saya dapatkan dari “Cah Angon” (anak gembala) yang dalam gurauannya ia mengatakan ia adalah orang paling awet muda. Apa sebab? Sudah tujuh puluh tahun lebih hidup di dunia masih disebut “Bocah Angon.”









1 comments so far


EmoticonEmoticon