Monday, December 20, 2010

Abrasi di Pantai Dekat Taman Nasional Tanjung Puting

Jika kita ketik di Google “Abrasi Pantai” pasti yang muncul banyak sekali pembahasan mengenai abrasi di pantai-pantai Pulau Jawa. Kali ini saya ingin menyoroti Abrasi di pantai selatan Pulau Kalimantan. Beberapa artikel memang membahas abrasi yang mengancam jalan trans kalimantan di propinsi Kalimantan Selatan tepatnya di Kabupaten Tanah Bumbu atau lebih dikenal ibukotanya Batulicin.


Kali ini saya ingin menuliskan beberapa hal yang belum muncul jika ditanyakan Mbah Google. Saya mengambil potret desa-desa di sepanjang pantai selatan Kalimantan Tengah. Jalur ini layak diperhatikan karena posisinya yang dekat dengan Taman Nasional Tanjung Puting yang sangat terkenal di kalangan peneliti dunia karena ada spesies Orangutan (Pongo pygmaeus). Nah, kali ini saya ingin mencoba mengajak anda menyusuri pantai selatan Kalimantan Tengah di Kabupaten Kotawaringin Barat ini.


Turun dari bandara, kita bisa menyewa mobil (karena lebih murah dan tidak ribet) dengan ongkos rata-rata di kota Pangkalan Bun ini, kurang lebih Rp. 250.000,- – Rp. 400.000,-/hari tergantung dari jenis mobilnya. Kurang lebih 4 KM dari Bandara Iskandar terdapat pertigaan dengan sebuah bundaran di tengahnya. Kita ambil kiri menuju kawasan wisata Taman Nasional Tanjung Puting dan Pantai Kubu. Jalan ini mempunyai panjang kurang lebih 80 KM jika kita ikuti dari kota Pangkalan Bun sampai terakhir Desa Sungai Rengas.


Beberapa kilometer dari jalan lurus tersebut akan ditemui perempatan dengan bundaran yang terdapat banyak patung orangutan (biasa disebut bundaran monyet). Jika kita mengambil ke kiri maka kita akan ke Pelabuhan Kumai dan Taman Nasional Tanjung Puting. Kali ini kita mengambil kanan, dan lurus terus mengikuti jalan sampai bertemu dengan banyak resort dan warung-warung itulah tempat wisata Pantai Kubu.


Beberapa bagian dari pantai sudah dibangun tembok pemecah ombak menandakan abrasi sudah terjadi. Jika kita perhatikan abrasi sudah mencapai pekarangan rumah-rumah penduduk. Namun karena tempat wisata, pengelolaannya masih lumayan bagus. Tembok pemecah ombak (jika sekilas diamati bangunan tersebut lebih mirip tanggul karena setahu saya pemecah ombak seharusnya membujur searah dengan datangnya ombak dan bukan tanggul yang justru bisa membuat laju ombak meningkat di daerah lain di sebelahnya), sudah dibangun meskipun seharusnya ada formasi tanaman mangrove jika ingin lebih aman. Di beberapa titik memang sudah ditanam bakau namun masih kecil-kecil. Sebenarnya formasi Hutan Mangrove tidak hanya Bakau (Rhizopora sp). Tapi ada beberapa jenis tanaman yang menjadi komposisi penyusun dari Hutan Mangrove untuk lebih lengkap bisa dicari di Google (tumbuhannya antara lain Bakau, Api-api, Bruguiera dll). Setiap daerah yang mempunyai pantai seharusnya mempunyai seorang ahli wetland.


Teluk Bogam dan Keraya


Lalu kita meneruskan perjalanan menyusuri sepanjang pantai selatan. Di kiri kanan jalan masih ditemui tumbuhan Nipah (Nypa fruticans) dan kayu Galam (Melaleuca cajuputi). Desa Sungai Umbang, mulai dari desa ini kita harus pelan-pelan karena jalanan mulai jelek, aspal berlubang dan tanah berpasir. Jarak pantai dengan jalanan cukup jauh dan kategori aman untuk desa ini. Tumbuhan di pantai bervariasi ada nipah, galam, pohon cemara juga ada. Kemudian ada satu titik yang laut sudah mepet ke darat, namun sudah ada dua bangunan pemecah ombak yang di belakangnya sudah ditanami tanaman bakau ada tiga pohon yang tumbuh besar dengan suburnya. Secara umum di kiri kanan masih banyak tumbuhan Nipah dan Galam.



Lalu ada sebuah desa yang diberi nama Sungai Bakau. Kemungkinan ada sebuah sungai yang banyak bakau, tapi karena saya hanya lewat jadi belum terlihat bakau yang tumbuh. Desa ini terletak di atas (semacam bukit) dan laut terlihat di bawah bukit tersebut. Sudah dibangun tembok pemecah ombak di desa ini, terdapat juga jalan kayu menjorok ke laut untuk wisata mancing.


Selanjutnya adalah Desa Teluk Bogam. Di desa ini aktivitas nelayan terasa lebih hidup, banyak sekali warga yang menjemur ikan kering di muka rumah. Desa ini terletak di rendahan, jadi ada sebuah jalan menurun dari bukit (Natai dalam bahasa daerah setempat) dengan papan baliho besar tempat wisata Tanjung Penghujan. Di turunan pertama masuk, terdapat sebuah bangunan pemecah ombak dengan tanaman bakau yang masih kecil-kecil. Terdapat sebuah bangunan rumah dari batako yang mepet ke laut. Di sepanjang jalan desa ini sebelah kanan bukit dan sebelah kiri tanaman kelapa dengan jarak 15 meter dari jalan dan langsung laut. Beberapa titik terlihat abrasi telah menumbangkan pohon-pohon kelapa di sepanjang jalan.


Desa selanjutnya Desa Keraya, desa ini juga terletak di rendahan sehingga desa ini sejajar dengan Laut. Beberapa titik terlihat sangat parah sehingga rumah-rumah mepet ke laut. Ada satu bangunan pemecah ombak, namun tidak efektif. Air laut terus menerus menggerus daratan. Beberapa pohon cemara dan kelapa bertumbangan karena akarnya tergerus air laut. Di sebuah jembatan di desa ini, terdapat sebuah rumah panggung yang tongkat rumahnya sudah di air jika terjadi pasang. Persis di sebelah rumah terdapat pohon cemara ukuran lumayan besar tumbang ke laut. Jika terjadi pasang air laut hanya 2-3 meter dari jalan, bahkan bisa naik ke jalan sehingga pasir laut menutupi jalanan.


Hal ini harus segera ditangani karena jika tidak maka jalanan di desa Keraya bisa tenggelam. Selain itu adanya mangrove diharapkan kembali menggeliatkan nafas nelayan di desa ini. Warga mengaku, jumlah nelayan semakin berkurang dan beralih ke profesi lain bahkan ada yang keluar dari desa disebabkan karena hasil tangkapan yang terus menurun dari tahun ke tahun. Sementara biaya operasional begitu mahal. Formasi Hutan Mangrove selain menjadikan menjadi tempat bertelur bagi ikan-ikan, dan membuat lingkungan terasa lebih indah. Desa yang pernah mendapatkan predikat Desa Pesisir Terbersih ini sangat potensial menjadi tempat wisata. Dua desa selanjutanya adalah Desa Sebuai dan Desa Sungai Rengas. Sebuai merupakan pemekaran dari Sungai Rengas. Di desa ini abrasi juga terjadi. Meskipun belum separah Teluk Bogam dan Keraya perlu juga antisipasi sejak dini. Khusus untuk dua desa ini, sampai saat ini belum tersentuh instalasi listrik.



Pihak-pihak terkait seperti Menteri Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, bahkan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata seharusnya segera mengambil tindakan untuk memberikan solusi bagi desa-desa di sepanjang pantai selatan pulau Kalimantan ini. Partisipasi dari berbagai pihak (akademisi, LSM, peneliti dll) juga sangat diharapkan, sehingga bisa menyelamatkan lingkungan pantai dari abrasi yang kian hari kian menggerus daratan desa.


Perlu juga diadakan studi banding ke Propinsi D.I. Yogyakarta. Toyota pernah mendanai sebuah LSM untuk program mangrove-isasi di sepanjang pantai selatan Jawa terutama di Kabupaten Bantul. Ombak pantai selatan yang begitu besar terbukti masih bisa hidup dengan baik karena menggunakan teknik khusus. Tanaman mangrove itu pun tumbuh dengan baik di beberapa titik dan menjadi penangkal abrasi yang ampuh. Semoga tulisan ini terbaca pihak-pihak yang terkait dan sekian hasil perjalanan wisata saya, yang berbelok dari rencana semula ke TN Tanjung Puting justru menyusuri desa-desa di sepanjang pantai selatan Propinsi Kalimantan Tengah.


2 comments

bang.. data abrasi yg menggerus pantai pertahunnya ada kah??

Kalau dibuat rata2 pengamatan selama 4 tahun terakhir 50cm/0.5 meter per tahun dan hanya diatasi menggunakan infrastruktur pemecah ombak


EmoticonEmoticon