Pemuda itu bersandar di suatu sudut dinding lapangan futsal.
Kepalanya tertunduk, matanya nanar, kemudian menghela nafas dalam.
Sementara rekan-rekannya berpesta merayakan kemenangan dengan bersorak
sorai. Timnya baru saja menjadi juara dalam sebuah turnamen futsal di
Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah (Sabtu,
10/11/2012).
“Apa kabar?” sapaku. Dia menoleh, membalas salamku sambil tersenyum
dan menjabat tanganku. “Baik,” jawabnya. “Kok kamu kelihatan tambah
gendut?” tanyaku. Pemuda kelahiran 13 Januari 1988 itu tergelak sambil
meremas-remas perutnya. Sebetulnya, kami pernah bertemu tepat satu tahun
yang lalu di turnamen yang sama.
Bekas Pemain Timnas Indonesia--Topas Wiyantoro Pamungkas mantan pemain timnas futsal Indonesia mengangkat piala setelah menjuarai turnamen lokal. Dia sekarang tanpa tim. Padahal dia pernah mengharumkan nama bangsa.
Dia menjadi pemain sewaan dari salah satu klub futsal lokal. Karena
status ‘bayaran’-nya, dia selalu menjadi bahan cemoohan penonton setiap
kali bertanding. Ejekan mulai dari ‘tukang ojek’ hingga ‘tukang tambal
ban’ dihiraukannya dengan lapang dada. Penonton memang tidak dapat
disalahkan karena tidak mengetahui siapa dirinya. Para suporter hanya
emosi melihat dirinya begitu lihai mengendalikan permainan. Mengatur tim
dengan bagus. Dia juga mempunyai tendangan kaki kiri yang keras dan
akurat. Tidak jarang dia mencetak gol dengan kaki andalannya itu.
Pemuda itu mempunyai nama Topas Wiyantoro Pamungkas. Mungkin, bagi
penggemar olahraga sepakbola sekalipun asing mendengar namanya.
Sebetulnya, Topas adalah salah satu pemain timnas futsal yang mewakili
Indonesia di ajang AFF Futsal Championship di Bangkok, Thailand 2008.
Kala itu, timnas futsal Indonesia gagal menjadi juara setelah dikalahkan
tim tuan rumah di partai final dengan skor 1-5.
Pada musim kompetisi Indonesian Super League (ISL) 2011/2012, di
berkostum PSIM Yogyakarta dan berlaga di Divisi Utama. Kini, sepesialis
bek kiri itu jobless alias belum mempunyai tim. “Belum ada tim, Mas,”
tuturnya, “ JC (Joint Committee) juga masih ribut. ISL juga baru mulai
Januari,” ujar pemuda yang memborong dua gol saat timnas mengalahkan
Myanmar 4-2 beberapa tahun silam.
Menjadi pemain sepakbola Indonesia adalah pertaruhan masa depan.
Memang, sang pemain mendapat kontrak dan gaji yang fantastis. Belum lagi
fasilitas-fasilitas yang ‘tidak umum’. Tapi, persaingan jugatidak
mudah. Apalagi kontrak dari mayoritas klub-klub Indonesia untuk para
pemain sepakbola pada umumnya hanya setiap satu tahun saja. Tidak
seperti di liga-liga eropa. Pemain di belahan benua lain itu bisa
mendapat kontrak hingga lima tahun dengan gaji miliaran rupiah setiap
minggu. Bisa koleksi mobil mewah hingga selebriti atau model. Bila
cedera, dibiayai klub. Di Indonesia, cedera berarti karir tamat.
Ketika itu saya tahu kenapa pemuda yang menyukai nomor punggung
favorit 11 itu tidak ikut merayakan kemenangan timnya. Turnamen sudah
selesai, itu artinya dia harus mencari turnamen lain untuk diikuti
supaya asap dapur terus mengepul.
“Lalu, sekarang kamu sibuk ngapain aja?”
“Latihan sendiri, Mas.”
“Sekarang kan jeda kompetisi, kan banyak klub yang sedang seleksi?”
“Kalau gak ada link susah, Mas.”
“Masih mau main bola?”
“Ya, mau Mas. Cuma sepakbola yang saya suka.”
“Ada mimpi masuk timnas?”
“Sekali saja saya bisa membela timnas, mati di lapanganpun saya mau.”
Saya terdiam. Dia kembali tertunduk sambil tersenyum. Kakinya
dijejak-jejakkan ke bumi. Kedua tangannya digenggam dibelakang. Lalu
dia menengadah. “Paling tidak hari ini kami juara,” celetuknya seraya
tertawa. Aku menjabat kembali tangannya, menepuk punggunggnya, “Kerja
yang bagus,” kataku kemudian meninggalkannya. Sebetulnya, saya dulu
juga mempunyai mimpi berkostum timnas. Tapi sekarang saya justru
berakhir menjadi seorang wartawan. Bagiku, kamu selalu menjadi seorang
juara. Kamu masih muda. Jangan berhenti berlatih dan bermimpi. Niscaya
kesempatan itu akan datang. Insya Allah...
(Diambil dari FB kawan saya: Rangga Putra)
EmoticonEmoticon