Friday, October 19, 2012

Pertanian Sistem Bakar Ancam Kawasan Tanjung Puting

KEBAKARAN lahan masih menjadi mimpi buruk bagi Kawasan Cagar Biosfer Tanjung Puting. Penyebab utamanya, penerapan sistem pertanian dengan komoditas tanaman semusim yang banyak diterapkan di desa-desa seputar kawasan penyangga Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP). Padahal, tanpa irigasi yang memadai, tanaman semusim hanya bisa panen satu kali dalam setahun. Jeda antara pascapanen dan musim tanam berikutnya inilah yang menyebabkan lahan kembali menjadi hutan belukar. Petani akan memilih cara yang paling mudah dan murah dengan membakar lahan dan tak jarang api mengancam kawasan TNTP. Pola bertani semacam ini terus berulang layaknya lingkaran setan. Hal itu diungkapkan Kepala Balai Taman Nasional Tanjung Puting Soewignyo kepada Gudang Tutorial di ruang kerjanya, Jumat (12/10). "Pola pertanian yang hanya panen sekali dalam setahun ini merupakan akar masalah dari pembukaan lahan sistem bakar."

Ia melanjutkan kebakaran hutan telah menjadi persoalan tidak hanya bagi kawasan konservasi seperti Taman Nasional Tanjung Puting namun telah dianggap sebagai permasalahan nasional. Asap yang menjadi dampak langsung dari kebakaran hutan menimbulkan banyak gangguan mulai dari kesehatan sampai sistem penerbangan.

Berayun--Dua ekor orangutan sedang berayun di pepohonan seperti Tarzan. Sementara itu, habitat orangutan di Taman Nasional Tanjung Puting terancam oleh penambangan, perladangan dan alif fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit
 
Menurut Soewignyo, semua pihak harus melakukan penanganan secara holistik. Yakni, merubah pola pertanian yang sudah berjalan selama ini dengan pola baru yang lebih menguntungkan bagi semua pihak termasuk petani. Pola yang dimaksud adalah agroforestry yakni tumpangsari antara tanaman hutan dengan tanaman semusim (palawija). Belajar dari kunjungannya negara Jepang dan Korea, pola agroforestry telah diterapkan dan hasilnya cukup bagus. Pola agroforestry juga telah sukses diterapkan di beberapa daerah di Jawa dengan tanaman utama sengon dan jabon.

Petani di Kalimantan, lanjut dia, bisa membudidayakan gaharu yang potensi hasilnya Rp2 miliar per dua hektare dalam 5-7 tahun. Sambil menunggu panen gaharu, petani bisa menanami sela-sela pohon gaharu dengan tanaman padi, jagung, semangka, cabe, sayur-sayuran dan tanaman semusim lainnya. Setelah pohon sudah cukup besar, ganti dengan tanaman semusim dengan jenis yang tahan di bawah naungan seperti jahe, kunyit, temulawak, iles-iles dan tanaman lain yang bernilai tinggi. "Bisa juga gaharu dengan karet, intinya pola tanam terus berkesinambungan, jadi tidak mungkin dibakar lha wong masih ada tanaman intinya. Jika ini benar-benar diterapkan tidak akan ada pembakaran lahan lagi."

Sebelumnya, Kepala Bidang Penatagunaan Kawasan Hutan, Dinas Kehutanan Kobar Wahyu Setiawan mengatakan tiga desa di kawasan penyangga (buffer zone) yakni Desa Sungai Sungai Sekonyer, Sungai Cabang dan Teluk Pulai dilepaskan dari kawasan TNTP melalui Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK 292/Menhut-II/2011. Lahan yang semula berstatus Hutan Produksi (HP) dan Hutan Produksi yang bisa dikonversi (HPK) tersebut berubah menjadi Areal Penggunaan Lain (APL). Meski begitu, mekanisme pembuatan ijin baru di lahan tersebut tidak mudah. Pasalnya, Gubernur telah menerbitkan surat edaran No. 540/1117/Ek yang ditujukan kepada Bupati/Walikota se-Kalteng untuk tidak memberikan atau mengalokasikan lahan yang berstatus Areal Penggunaan Lain (APL) kepada para investor bidang pertambangan, perkebunan maupun bidang usaha lainnya.


EmoticonEmoticon