PEMBERIAN izin lokasi perkebunan kelapa sawit seluas 7200 Hektare di Desa Sungai Cabang, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) hanya akan memberikan kesejahteraan bagi pemodal. Pasalnya, masih banyak cara lain yang bisa ditempuh apabila kesejahteraan masyarakat benar-benar menjadi tujuan utama. Hal itu diungkapkan Sekretaris Kerabat Besar Kesultanan Kutaringin Muhammad Syairani kepada Gudang Tutorial di Istana Kuning, Senin (22/10). "Saya kira masih banyak mekanisme yang bisa ditempuh untuk mensejahterakan masyarakat disana dengan tetap menjaga kawasan penyangga Tanjung Puting."
Ia melanjutkan pemerintah seharusnya mengambil kebijakan win-win solution yakni warga sejahtera dan lingkungan tetap lestari. Apabil toh harus menanam sawit. Pemerintah harus memastikan sawit tersebut bisa benar-benar mensejahterakan masyarakat. Asumsinya, jika jumlah penduduk di desa tersebut sekitar 200 KK. Sebenarnya 400 Hektare saja sudah cukup apabila dijatah dua hektare per KK. Mekanismenya bisa menggunakan kelompok tani atau koperasi dengan pendanaan dari dinas terkait. "Bukan justru dengan memberikan tujuh ribu hektare ke swasta termasuk lima ribu hektar lahan gambut itu."
Selain itu, lanjut dia, penurunan kunjungan wisatawan asing merupakan dampak yang tidak bisa dihindari apabila sawit benar-benar masuk kawasan penyangga. Pasalnya, kebanyakan wisatawan di Kobar merupakan tipe wisatawan yang kritis menyingkapi isu-isu kelestarian lingkungan.
Sebelumnya, Direktur Walhi Kalteng Arie Rompas mengatakan lahan gambut dalam tidak boleh dikonversi dengan alasan apapun. Konversi lahan gambut sangat berbahaya bagi masa depan manusia. Sebab setiap kerusakannya menyebabkan pelepasan emisinya lebih besar dan berimbas pada peningkatan suhu akibat efek rumah kaca. Ketentua itu tegas diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. "Kedudukan Inpres otomatis lebih tinggi daripada SK Menhut. Bahkan presiden menegaskan bahwa Inpres tersebut harus ditaati sebagai bagian dari pencitraan pemerintah RI di mata internasional terkait pelestarian lingkungan."
Ia melanjutkan pemerintah seharusnya mengambil kebijakan win-win solution yakni warga sejahtera dan lingkungan tetap lestari. Apabil toh harus menanam sawit. Pemerintah harus memastikan sawit tersebut bisa benar-benar mensejahterakan masyarakat. Asumsinya, jika jumlah penduduk di desa tersebut sekitar 200 KK. Sebenarnya 400 Hektare saja sudah cukup apabila dijatah dua hektare per KK. Mekanismenya bisa menggunakan kelompok tani atau koperasi dengan pendanaan dari dinas terkait. "Bukan justru dengan memberikan tujuh ribu hektare ke swasta termasuk lima ribu hektar lahan gambut itu."
Selain itu, lanjut dia, penurunan kunjungan wisatawan asing merupakan dampak yang tidak bisa dihindari apabila sawit benar-benar masuk kawasan penyangga. Pasalnya, kebanyakan wisatawan di Kobar merupakan tipe wisatawan yang kritis menyingkapi isu-isu kelestarian lingkungan.
Sebelumnya, Direktur Walhi Kalteng Arie Rompas mengatakan lahan gambut dalam tidak boleh dikonversi dengan alasan apapun. Konversi lahan gambut sangat berbahaya bagi masa depan manusia. Sebab setiap kerusakannya menyebabkan pelepasan emisinya lebih besar dan berimbas pada peningkatan suhu akibat efek rumah kaca. Ketentua itu tegas diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. "Kedudukan Inpres otomatis lebih tinggi daripada SK Menhut. Bahkan presiden menegaskan bahwa Inpres tersebut harus ditaati sebagai bagian dari pencitraan pemerintah RI di mata internasional terkait pelestarian lingkungan."
EmoticonEmoticon