Friday, October 12, 2012

Cagar Biosfer Tanjung Puting Dibawah Tekanan

KONSEP Cagar Biosfer Tanjung Puting belum sepenuhnya dipahami dan dijalankan dengan baik oleh pemangku kepentingan di daerah. Meski sudah ditetapkan UNESCO sebagai kawasan cagar biosfer sejak tahun 1977, belum banyak sosialisasi mengenai hal ini secara lintas sektoral. Akibatnya terjadi konflik antara kepentingan konservasi dengan kepentingan pembangunan. Hal itu diungkapkan Kepala Balai TNTP Soewignyo dalam presentasinya di hadapan para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam kegiatan konsultasi publik rancangan rencana aksi (action plan) Cagar Biosfer TNTP di Aula Hotel Avilla Pangkalan Bun, Kamis (11/10). "Collaborative management belum bisa berjalan seperti yang diharapkan,"

Ia melanjutkan kawasan tanjung puting juga masih terancam dengan adanya kegiatan pembakaran hutan dan lahan yang masih marak dilakukan masyarakat sekitar kawasan. Hal ini disebabkan pola pertanian yang hanya satu kali dalam setahun. Imbasnya, terdapat waktu jeda sehingga lahan yang sudah pernah dibudidayakan kembali menjadi belukar. Pada musim tanam tahun berikutnya, mau tidak mau mereka harus kembali membakar hutan.

Kebakaran Lahan--Sebuah mobil pick up sedang melewati kepulan asap yang diakibatkan kebakaran lahan di Jalan Pangkalan Bun-Kumai. Mayoritas petani di Kalteng membersihkan lahan dengan sistem bakar. Meski murah, tindakan tersebut berdampak negatif bagi kelestarian lingkungan.

Selain itu, lanjut dia, kawasan tanjung puting masih marak terjadi  penambangan emas tanpa izin (peti). Kegiatan ini berdampak serius pada kelestarian kawasan tanjung puting. Salah satunya, pencemaran di sungai sekonyer yang merupakan jalur wisata tanjung puting. "Semua pihak harus dilibatkan dalam penyusunan action plan termasuk pemerintah provinsi karena kawasan cagar biosfer tanjung puting berada di dua kabupaten yakni Kobar dan Seruyan."

Ditemui di tempat yang sama, Kasat Intelkam Polres Kobar Ajun Komisaris Mulkaifin, pengelolaan Cagar Biosfer Tanjung Puting harus dilakukan secara bersama-sama dengan berbagai pihak. Berkaca dari pengalaman kampung halamannya di Wakatobi, dahulu tidak banyak yang mengenal surga terumbu karang di Provinsi Sulawesi Tengara (Sultra) ini. Wakatobi hanya dianggap gugusan pulau-pulau yang sepi. Orang hanya datang ke Wakatobi untuk mencari ikan. Celakanya, mereka mencari ikan dengan menggunakan bom. Dampaknya tidak hanya ikan yang mati tapi terumbu karang juga hancur. Bahkan tidak jarang melukai para pelaku.  

Namun akhirnya, lanjut dia, banyak pihak sadar bahwa kegiatan tersebut harus dihentikan. Pemerintah bersama pihak kehutanan dan kepolisian setempat memberikan sosialisasi kepada masyarakat bahwa tindakan mereka itu tidak dibenarkan secara hukum. Setelah itu, diikuti dengan tindakan tegas bagi yang melanggar. Hasilnya, saat ini Wakatobi telah dikenal di seluruh dunia sebagai daerah yang menyajikan panorama bawah laut yang menakjubkan. Wakatobi juga ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 1996 dan cagar biosfer pada tahun 2012. "Sekarang pulau-pulau di Wakatobi tidak ada yang sepi, pariwisata disana sudah menjadi industri yang melibatkan seluruh masyarakat."


EmoticonEmoticon