Wednesday, November 11, 2009

Pernikahan Dini ala Syekh Puji: Sebuah Refleksi Seorang Muslim Biasa


Syekh Puji dan istri ciliknya

Ini salah satu kejadian yang menghebohkan beberapa waktu lalu. Begitu luar biasa, betapa seorang pengusaha kaya dengan pakaian ala Syekh (walah koyo opo kuwi Cak? Pokok e putih ngono kae lah) menikah seorang gadis kecil berumur dua belas tahun. Sekali lagi Islam yang saya cintai dijadikan kedok untuk pembenaran hal ini. Dalih gampangnya, Rasullallah SAW menikahi Aisyah r.ha pada umur sembilan tahun.

Nah, sesuai dengan mahzab saya, Islam Biasa maka hal ini sangat konyol. Ada dua hal paling tidak yang harus dikaji betul-betul. Apakah benar Aisyah r.ha dinikahi umur sembilan tahun? Setelah saya tanya Mbah Google kok banyak artikel yang menyebutkan bahwa perawi hadits-nya itu kurang bagus. Ada juga yang mengatakan perang badar hanya diikuti oleh mereka yang berusia di atas lima belas tahun dan Aisyah r.ha ikut dalam perang itu (mumet to Cak? Artine Aisyah r.ha kuwi di atas lima belas tahun pas iku).

Kedua adalah level kewajaran sesuatu hal dilakukan di masyarakat. Nah, ranah ini sudah masuk ilmu sosiologi (sing maqomme ga nyampe, meneng disik tak terangke Cak). Ilmu ini sangat berguna bagi dakwah, para wali pun mengkaji permasalahan ini ketika masuk berdakwah di tanah Jawa. Meskipun notabene mereka berasal dari negeri-negeri jauh yang otomatis mempunyai adat dan kebiasaan yang berbeda-beda. Pelarangan menyembelih sapi dan memakan dagingnya di daerah Kudus misalnya. Sunan Kudus mengambil kebijakan itu karena kondisi masyarakatnya memang masih banyak yang mempunyai kepercayaan Hindu Jawa. Dikaitkan dengan Al Qur’an oleh Kanjeng Sunan. Di dalam Al Qur’an juga ada surat yang namanya Al Baqoroh yang artinya sapi betina (dadi Islam juga bisa menemukan titik temu dengan kondisi saat itu gitu lho Cak). Ditambah lagi, Sunan Kalijaga yang menjadikan wayang kulit menjadi sarana dakwah. Kurang apa lagi? Masyarakat Cak, perhatikan mereka. Kita tidak hanya hidup sendiri.

Saat ini kita banyak berdebat mengenai hal yang pertama (Aisyah r.ha ki sembilan tahun po ora, kuwi wae sing dipikir) padahal kita tidak usah memikirkan tetek bengek mengenai hal itu. Kita lihat saja batas kewajaran di masyarakat kita (Ini juga berlaku untuk kasus Aa Gym sebenar e Cak). Nah, jika hati nurani Syekh Puji masih ada, tentu dia bisa mikir. Lha menikah kok dengan wanita yang lebih pantas jadi anaknya (bahkan sama anaknya sendiri saja lebih tua anaknya Syekh Puji Cak? Remuk to?). Sudah pasti hal ini akan menyebabkan konflik di masyarakat. Bahkan situs anti Islam semacam Indonesia Fraith Freedom dll bersorak riang karena klaim mereka bahwa Nabi Muhammad SAW seorang pedophilia. Mereka bahkan menyatakan telah memurtadkan banyak orang dengan kasus Syekh Puji ini (Syekh mugo-mugo dosane sampeyan dingapuro karo Gusti Allah SWT, sing paling remuk maneh sekilas wajah Lutfiana kok mirip dengan wajah mantan pacar saya yang sekarang sudah saya nikahi). Lalu untuk apa kita mengejar kesenangan sendiri dengan mengorbankan Islam? Anehnya bukan malah menasehati Syekh Puji tapi justru ada kalangan yang membela Syekh Puji dengan dalih agama.

Nah saya dalam hal menasehati Syekh yang satu ini, saya ingin mencontoh Rasul (bukan jadi Rasul lho Cak, cuma mencontoh saja sebagai umat akhir jaman yang memikul tugas meneruskan risalahnya). Jika Aa Gym disarankan jangan poligami, kalau Syekh Puji yo wis lah silahkan Poligami (lho kok mencla mencle Cak? Lha yo to, wong Rasul juga memiliki jawaban yang beda-beda untuk setiap umatnya yang bertanya. Anggaplah ini kasus yang sudah lebih parah). Tapi jika mau poligami mbok mikir to Syekh, niatnya untuk apa? Jika untuk beribadah ya nikahlah dengan wajar. Tidak wajar boleh, misal nikah dengan janda umur enam puluh tahun yang memerlukan pertolongan silahkan, saya yakin tidak akan ada yang protes.

Jika tidak kuat, saya dari Mahzab Biasa menyarankan sampeyan cari istri yang cantik mulus sexy umurnya dua atau tiga tahun di atas usia anak tertua sampeyan. Ini juga saya yakin orang tidak akan protes. Nah parahnya, silahkan sampeyan menikah dengan wanita yang usianya wajar untuk dinikahi di alam Republik kita yang ruwet ini. Boleh silahkan. Oh ya, satu lagi, nikahkan dulu anak laki-laki sampeyan yang pertama itu. Sudah masuk usia nikah itu.

Sekali lagi, ini hanyalah nasehat dari saya karena saking sayangnya dengan sampeyan sebagai saudara saya. Jika sampeyan tahu akibat dari pernikahan sampeyan banyak orang yang murtad karena hasutan kaum anti Islam (semoga saja dosanya tidak dibebankan sama sampeyan) menurut saya kok lebih baik kita menjadi muslim yang sewajarnya dan menjadi rahmat seluruh alam. Kekayaan sampeyan yang sudah bertumpuk itu bisa dipergunakan untuk memberdayakan masyarakat, melatih orang bertani atau berwiraswasta seperti sampeyan, jangan cuma dibagi, bukan ngasih kail tapi ikan langsung. Nah semoga saja bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Sesuatu yang baik dan halal belum tentu tepat dilaksanakan, kampung/negara kita adalah medan dakwah kita.




EmoticonEmoticon