Tuesday, September 8, 2009

Mengurai Konflik Tenurial di Kalimantan Tengah

Pulau Kalimantan merupakan salah satu pulau besar di Dunia. Pulau yang lebih dikenal dunia dengan sebutan Borneo ini memiliki luas 743.330 km² mencakup wilayah Brunai dan Malaysia. Kawasan Borneo yang masuk dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia di sebut Kalimantan. Menurut Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya Sriwijaya (LKIS 2006), Kalimantan berasal dari Bahasa Sanksekerta Klemantan berasal dari kata Kalamanthana yaitu pulau yang udaranya sangat panas atau membakar.

foto: pembakaran lahan untuk bertani dalam sistem ladang berpindah

Kalimantan secara administratif dibagi menjadi empat propinsi. Permasalahan lahan atau yang lebih lazim disebut konflik tenurial merupakan persoalan utama di Kalimantan. Lahan yang begitu luas ini dikelola oleh masyarakat dengan sistem berladang berpindah sejak jaman dahulu. Hal ini menyebabkan tumpang tindih kepemilikan lahan yang kronis. Permasalahan ini semakin rumit karena baik pihak pemerintah tidak bisa menerapkan aturan secara tegas salah satunya membuat tata ruang yang bersifat hukum tetap dan mengikat.

Hal ini diperparah dengan pola pikir masyarakat masih menggunakan batas-batas berdasarkan adat yang bersifat kultural yang sangat sulit didefinisikan secara ilmiah. Desa yang merupakan ujung tombak pemerintah justru terjebak dalam perdebatan sesama mereka. Desa telah terjerumus dalam konflik berkepanjangan tanpa ada usaha untuk memperbaiki keadaan. Perlu penegasan dari pemerintah bahwa batas secara administratif harus dibedakan dengan batas secara kultural.

Perbedaan tata batas secara administratif dengan kultural bisa kita lihat penetapan tata batas antar propinsi di Jawa. Secara kultural batas Propinsi Jawa Timur di mulai dari Kabupaten Nganjuk yang secara dialek bahasa seperti layaknya Bahasa Jawa gaya timur. Sedangkan Kabupaten Ngawi, Pacitan, Madiun, Bojonegoro bisa dikategorikan Jawa Tengah. Namun batas administratif sudah ditentukan yakni Bengawan Solo sebagai batas antara Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Jawa Timur. Hal ini mengandung konsekuensi hukum dan mengikat. Sehingga tampaklah pembagian wilayah seperti yang terlihat di Peta saat ini. Pembagian ini berlaku juga untuk perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Pola ini sebenarnya bisa diterapkan di wilayah Kalimantan Tengah. Saat ini bukan hanya batas antar Desa tetapi batas antar Kabupaten belum diatur secara definitif. Langkah awal untuk penyelesaian konflik tenurial ini bisa dimulai dengan melakukan edukasi kepada masyarakat bahwa batas secara administratif adalah berbeda dengan batas secara kultural. Keduanya tidak bisa disatukan dan tidak bisa disamakan. Pemda-pemda di Kalimantan Tengah sampai saat ini menyusun batas antar desa dengan acuan adat dengan kata lain menggunakan pendekatan secara kultural. Padahal ini adalah pangkal dari permasalahan yang terjadi saat ini.

Jika salah seorang warga dari suatu desa berladang pada jarak lima puluh kilometer dari desanya maka sejauh itulah wilayah desanya menurut adat. Penetapan tata batas ini sangat menggelikan. Pola pertanian ladang berpindah yang dianut mayoritas warga memungkinkan setiap individu untuk berladang dimana saja layaknya kupu-kupu yang beterbangan di angkasa. Lalu bagaimana dengan batas antar desa? Sudah pasti kacau balau.

Pemetaan partisipatif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan baik pemerintah, LSM, maupun perwakilan masyarakat itu sendiri. Sebelumnya harus dibuat rambu-rambu yang logis misal untuk desa mempunyai home range maksimal 30 KM atau 20 KM. Sehingga Desa A wilayahnya adalah radius 30 KM selebihnya adalah wilayah desa lain. Lalu bagaimana jika ada warga Desa A yang berladang di radius 50 KM? Jika ada kasus seperti itu maka lahan garapan itu tetap milik warga Desa A namun Surat Keterangan Tanah (SKT) dibuat oleh Kepala Desa B karena wilayahnya masuk Desa B. Nah, bukankah dengan cara seperti ini wilayah suatu desa menjadi jelas? Imbasnya penentuan tata batas antar Kabupaten pun menjadi lebih mudah.

Intinya, proses reformasi yang kebablasan harus di stop dan ditata kembali. Saat ini memang kita harus partisipatif, semua harus bottom up, namun tidak berarti secara membabibuta. Semua keinginan masyarakat kita akomodir. Jika seperti itu keadaannya, lalu apa fungsinya pemerintah? Masalahnya saat ini masyarakat sudah pintar mengakali pemerintah. Seharusnya ada hukum yang secara tegas mengatur permasalahan lahan ini. Jika salah harus dihukum sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Ingat kesejahteraan bukan berdasarkan penguasaan lahan yang luas, namun bagaimana membudidayakan lahan tersebut menjadi lebih produktif dan menghasilkan. Inilah mengapa transmigran yang hanya punya lahan dua hektar yang dikelola dengan intensif bisa lebih sejahtera daripada yang menguasai lahan lima puluh hektar tapi tidak dikelola dengan baik.


EmoticonEmoticon

Popular Post