KEBAKARAN hutan yang terjadi di Desa Tumbang Koling, Kecamatan Cempaga Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) harus segera diatasi. Pasalnya, hutan tersebut menjadi habitat berbagai jenis satwa liar seperti orangutan, beruang, owa, kukang dan tupai terbang. Tercatat ada 11 jenis mamalia langka dan 34 jenis burung khas kalimantan yang terancam musnah jika kebakaran tidak dapat dipadamkan dalam waktu dekat.
"Kebakaran sudah terjadi dua hari ini dan kami telah melaporkan kepada BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Pangkalan Bun,"kata Hardi Baktiantoro, Direktur Centre for Orangutan Protection (COP) kepada Borneonews melalui sambungan telepon, Sabtu (7/7).
Ia melanjutkan COP telah melakukan pendampingan masyarakat setempat untuk mempertahankan hutan tersebut selama lima tahun terakhir. Ironisnya, terjadi perbedaan persepsi antara BKSDA dengan pemerintah setempat. Menurut BKSDA, hutan tersebut masuk kawasan Hutan Produksi yang bisa dikonversi (HPK). Sedangkan versi Pemkab Kotim status kawasan tersebut adalah Areal Penggunaan Lain (APL).
Pihaknya mendirikan Kamp Pembela Hutan (Forest Defender Camp) untuk mempertahankan hutan dari ekspansi perkebunan kelapa sawit di sekitarnya. Bukan rahasia lagi, saat ini hutan yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi tersebut sedang diperebutkan oleh beberapa perusahaan kelapa sawit. Padahal Gubernur Kalteng telah menginstruksikan perusahaan untuk menghentikan ekspansinya dengan menetapkan kawasan tersebut sebagai status quo.
Meski begitu, kata dia, beberapa hari terakhir terjadi kebakaran hebat di hutan tersebut. Pada Kamis (4/7), tim APE Defender dari COP yang mencoba mendekati lokasi kebakaran diusir oleh sekelompok orang tidak dikenal dan melarang mendokumentasikan kejadian. Pihaknya sangat menyesalkan tindakan oknum-oknum tersebut. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap orang yang melakukan pembakaran lahan dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan denda paling sedikit Rp3 miliar. "Oknum yang mengusir kami bukan anggota masyarakat, kami hafal betul. COP mendesak Kementerian Kehutanan untuk mengusut kejahatan ini."
Dihubungi terpisah, Kepala Kepala BKSDA SKW II Kalteng Hartono, pihaknya telah mengirimkan Brigade Pengendalian Kebakaran hutan (Brigdalkarhut) Manggala Agni ke lokasi dan api sudah dapat dikendalikan. Ia mengaku sempat dihadang beberapa oknum yang mengaku sebagai pemilik lahan tersebut. "Saat kami masuk memang dihadang masyarakat kemudian kami menjelaskan bahwa kami dari manggala agni. Kami juga berharap pihak COP berkoordinasi sebelum mengirim rilis kemana-mana, koordinat yang diberikan melenceng jauh sehingga menyulitkan kami,"tukas dia. (CR-32)
"Kebakaran sudah terjadi dua hari ini dan kami telah melaporkan kepada BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Pangkalan Bun,"kata Hardi Baktiantoro, Direktur Centre for Orangutan Protection (COP) kepada Borneonews melalui sambungan telepon, Sabtu (7/7).
Ia melanjutkan COP telah melakukan pendampingan masyarakat setempat untuk mempertahankan hutan tersebut selama lima tahun terakhir. Ironisnya, terjadi perbedaan persepsi antara BKSDA dengan pemerintah setempat. Menurut BKSDA, hutan tersebut masuk kawasan Hutan Produksi yang bisa dikonversi (HPK). Sedangkan versi Pemkab Kotim status kawasan tersebut adalah Areal Penggunaan Lain (APL).
Pihaknya mendirikan Kamp Pembela Hutan (Forest Defender Camp) untuk mempertahankan hutan dari ekspansi perkebunan kelapa sawit di sekitarnya. Bukan rahasia lagi, saat ini hutan yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi tersebut sedang diperebutkan oleh beberapa perusahaan kelapa sawit. Padahal Gubernur Kalteng telah menginstruksikan perusahaan untuk menghentikan ekspansinya dengan menetapkan kawasan tersebut sebagai status quo.
Meski begitu, kata dia, beberapa hari terakhir terjadi kebakaran hebat di hutan tersebut. Pada Kamis (4/7), tim APE Defender dari COP yang mencoba mendekati lokasi kebakaran diusir oleh sekelompok orang tidak dikenal dan melarang mendokumentasikan kejadian. Pihaknya sangat menyesalkan tindakan oknum-oknum tersebut. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap orang yang melakukan pembakaran lahan dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan denda paling sedikit Rp3 miliar. "Oknum yang mengusir kami bukan anggota masyarakat, kami hafal betul. COP mendesak Kementerian Kehutanan untuk mengusut kejahatan ini."
Dihubungi terpisah, Kepala Kepala BKSDA SKW II Kalteng Hartono, pihaknya telah mengirimkan Brigade Pengendalian Kebakaran hutan (Brigdalkarhut) Manggala Agni ke lokasi dan api sudah dapat dikendalikan. Ia mengaku sempat dihadang beberapa oknum yang mengaku sebagai pemilik lahan tersebut. "Saat kami masuk memang dihadang masyarakat kemudian kami menjelaskan bahwa kami dari manggala agni. Kami juga berharap pihak COP berkoordinasi sebelum mengirim rilis kemana-mana, koordinat yang diberikan melenceng jauh sehingga menyulitkan kami,"tukas dia. (CR-32)
Sumber: Borneo News
EmoticonEmoticon