Mengucap Alhamdulillah mungkin sangat ringan di lidah kita. Apakah ucapan itu tulus dari dalam hati kita? Apakah kita benar-benar mengerti betul dengan makna kalimat itu. Kisah di bawah ini mungkin bisa membuka mata kita semua mengenai rejeki, bersyukur, dan ikhtiar.
Alkisah ada seorang pemuda dari gunung tandus sebut saja Gunung Kidul yang turun ke kota berbelanja. Setelah setengah hari penuh berbelanja di Pasar Bringharjo maka lapar pun mendera perutnya. Dia pun mencari rumah makan terdekat dari situ. Lalu dengan lahapnya disantap satu porsi gudeg lengkap dengan ayam bacem dan telur coklat khas gudeg. Selayaknya orang desa, ia tidak memperdulikan sendok dan garpu yang tersedia. Dia makan langsung dengan sendok alami alias jari-jari tangannya.
Setelah selesai makan, ia pun menanyakan dimana kobokan air untuk cuci tangan.
“Disini tidak pakai kobokan Mas, itu ke wastafel di dekat Mas itu,”kata salah seorang cewek pelayan warung. Si Pemuda clingukan,”Wastafel opo to Mbak?” Si pelayan menunjukkan kran dengan bulatan keramik putih di dinding tak jauh dari si pemuda duduk.
Pemuda itu pun sangat takjub. “Wah di kampungku, air begitu susah. Eh di sini ada benda ajaib yang begitu diputar langsung keluar air,”katanya dalam hati. Ia pun segera menuju kasir setelah selesai mencuci tangannya. Seorang wanita Tiong Hoa yang ramah dan baik hati segera menyambutnya dengan senyum ramah dari belakang meja Kasir. Ia pun membayar sejumlah uang yang disebutkan si kasir. Sebelum beranjak pergi, si pemuda bertanya kepada kasir yang sekaligus pemilik warung.
“Ci, itu yang bisa mengeluarkan air untuk cuci tangan dibeli dimana?”
“Oh kran to Mas? Banyak di toko-toko bangunan tinggal milih mau yang model apa saja ada. Mulai yang murah sampai yang paling mahal.”
“Oh gitu, matur suwun Ci, pareng rumiyin.”
“Inggih, monggo...monggo Mas, ngatos atos”
Lalu si pemuda pun mencari toko bangunan di seputaran areal tersebut. Tak tanggung-tanggung dia membeli sepuluh kran terbaik dari toko bangunan tersebut. Segera ia pulang ke kampungnya karena hari beranjak sore. Ba’da Maghrib, bukannya istirahat, ia justru mengambil peralatan yang tadi ia beli di kota. Ia menancapkan satu persatu kran-kran itu di tembok samping rumahnya. Malamnya ia tidak bisa tidur, ia sudah berpikir tentang kran-kran yang ia pasang tadi. “Wah air mengalir, dan tetangga-tetangga tidak perlu susah lagi.” Sampai lepas tengah malam baru ia bisa tertidur. Ia berpikir besok pagi masalah terbesar yang membelit kampungnya selama ini akan berakhir. Dia lah penemu solusinya, dia bisa jadi Lurah, Caleg DPRD atau paling tidak menjadi menantu Lurah.
Pagi hari, bersamaan dengan adzan shubuh di surau beberapa meter dari rumahnya, ia terbangun dengan penuh semangat. Ia mengambil air wudhu di gentong lalu segera bergegas ke Surau. Habis sholat shubuh, pas gilirannya juga membaca ta’lim hadits. Setelah itu ia pun membuat pengumuman,”Saudara-saudara sekalian, tolong nanti jam sembilan ke rumah saya. Saya telah menemukan cara untuk mendapatkan air yang melimpah ruah. Silahkan juga undang saudara-saudara kita di RT sebelah bahkan seluruh kampung,”katanya mantap dengan sedikit sombong. Diiringi dengan ucapan koor Amiin dari jamaah.
Tepat jam sembilan pagi, ratusan orang telah berkumpul di rumah si pemuda. Tak ketinggalan para pamong desa. Ada Pak Lurah, Pak Carik, Pak Kamituwo, Pak Jagabaya, Pak Bayan, Pak Uceng dll. “Nah Bapak-Bapak sekalian, tibalah saatnya revolusi, reformasi, reboisasi yang sebenarnya (weleh-weleh pokok e nggaya). Alat yang menancap di tembok saya itu, bisa mengeluarkan air. Sesuatu yang paling susah kita cari di kampung ini. Untuk itu saya persilahkan Bapak Lurah untuk membuka alat itu diikuti Bapak Carik, Bapak Kamituwo, Bapak Jagabaya, Bapak Bayan, Bapak Uceng, dan Bapak-Bapak Kyai,” katanya dengan penuh rasa bangga sambil memandang Kinasih, cewek cantik anak Pak Lurah (pokok e asoy geboy Cak!), Para pamong dan tokoh pun maju satu per satu di depan kesepuluh kran. Disaksikan seluruh masyarakat yang menghitung secara bersama-sama, dan satu...dua...tiga....kran pun diputar.
Apa yang terjadi?!?!?! Tidak setetes pun air yang keluar dari kran tersebut. Warga yang sudah tidak sabar, merangsek maju ke depan. Begitu mereka tahu yang mereka hadapi hanyalah logam yang tidak bisa mengeluarkan setetes air pun, mereka mengamuk! Tak hayal lagi si pemuda pun dihajar beramai-ramai. Keadaan makin kacau dan tidak terkendali. Akhirnya, melalui tangan pendekar pilih tanding, Mbah Jogoboyo yang menarik dan menyelamatkan nyawa si pemuda dari amukan massa.
Beberapa hari setelah kejadian itu, ia pun segera berangkat ke kota dengan membawa semua kran yang telah di belinya. Pertama ia datang ke restoran, ia pun bergegas ke meja kasir.
“Waduh Ci, gimana ini? Kemarin penjenengan bilang alat ini bisa mengeluarkan air seperti alat yang di tembok Cici itu,”katanya sambil menunjuk wastafel.
“Waduh Mas, saya ndak tahu to, itu kelihatannya bagus-bagus krannya mungkin macet, mbok coba ke tokonya, dicek siapa tahu mampet,”kata si kasir sambil melayani pembeli.
“Inggih kalau begitu saya tak langsung kesana, mau saya marahi dia, jual barang kok kayak gini,”katanya menggebu-gebu.
Ia pun bergegas berjalan ke toko bangunan tempat ia membeli kran-kran itu. Muka merah padam seperti kepiting rebus saking menahan amarah.
“Hei Mas, sampeyan ini gimana? Katanya kran ini paling mahal paling bagus, kok saya pakai di rumah saya tidak mengalirkan air?!”katanya sambil dengan kasar meletakkan kresek berisi kran-kran sehingga menimbulkan suara gaduh sekejap.
“Weleh-weleh sabar Mas...sabar...ada apa? Kita bicarakan, kalau memang macet ya bisa ditukar, ayo kita ke belakang kita cek dulu sama-sama.”kata pemilik toko dengan senyum khas Jogja-nya.
“Ayo, nek mampet sampeyan ganti saya dengan dua puluh kran baru lho.”
“Walah yo wis, gampang. Ayo gek cepet.”
Mereka menuju halaman belakang, di situ ada taman dengan banyak bunga-bunga bermekaran indah sekali. Tepat di ujung taman, di tembok ada sebuah kran yang bisa dilepas pasang. Setelah itu diambil satu kran dari kresek, dipasang dan diputar....cuuurrrr....air mengalir dengan derasnya. Dicoba satu per satu, dan kesepuluh kran itu pun mengalir dengan derasnya.
“Wah...kok bisa ya? Kok disini lancar?”kata si pemuda sambil garuk-garuk kepala.
“Sik..sik...tunggu sebentar. Dulu Mas e masangnya dimana? Dan bagaimana?”tanya si pemilik toko dengan sabar.
“Ya dipasang di tembok seperti yang sampeyan lakukan tadi,”jawabnya dengan roman muka sedih.
“Oalah Mas...Mas...penjenengan belum tahu ya? Ada rahasia di balik tembok itu.”
“Rahasia? Rahasia apa to Mas?”
“Mari ikut saya.”
Pemilik toko masuk sebentar untuk mematikan kran besar di dalam, lalu mencabut kran kecil yang tadi di coba. Lalu dengan sabar ia menerangkan bahwa di tembok tersebut ada pipa paralon yang tidak kelihatan karena diletakkan di dalam tembok. Pipa itu menghubungkan air ke seluruh penjuru rumah. Pipa itu disambungkan dengan sebuah tangki besar warna orange yang disebut profile tank,
“Wah, ternyata kran itu hanya mengeluarkan air to Mas? Sebenarnya air itu dari tangki dan lewat pipa paralon pula. Saya minta maaf telah menuduh Mas yang bukan-bukan tadi,”kata si pemuda sambil menjulurkan tangannya.
“Wah nggak apa-apa Mas, namanya belum tahu,”jawab si pemilik toko sambil menerima jabat tangan dari si pemuda. BERSAMBUNG
EmoticonEmoticon