Saat Indonesia mengalahkan Malaysia dengan skor 5 – 1, saya tidak terlalu terkejut dengan hasil tersebut. Hal ini didasarkan pada diskusi di banyak forum mulai Kaskus, Detik, dll yang mengusulkan Naturalisasi sebagai salah satu cara tim-tim besar di dunia untuk meningkatkan prestasi. Di Indonesia, langkah naturalisasi ini menjadi sangat penting ketika pemain di Liga lokal sangat susah untuk diharapkan lagi prestasinya. Di samping pelatih timnas seolah hanya terpaku pada nama-nama pemain yang itu-itu saja. Pelatih timnas kali ini terhitung berani karena ketegasannya membuang beberapa pemain dengan digantikan muka-muka baru yang lebih fresh.
Fokus saya kali ini adalah Irfan Bachdim pemain Indonesia hasil naturalisasi (yang sebenarnya Indonesia banget). Ia tercatat pernah bermain di beberapa klub eropa antara lain Ajax Amsterdam, SV Argon, dan FC Utrecht. Jujur saya sedih saat melihat ia harus bermain di Persema. Semoga hal ini hanya untuk satu musim saja, pasca turnamen-turnamen yang diikutinya bersama Tim Nasional Indonesia, ia akan dilirik oleh klub di Liga Belanda atau Liga Jerman (untuk Liga Inggris, Italia, atau Spanyol syukur-syukur kalau dapat). Maklum ayahnya Noval Bachdim adalah pemain Persema Malang di masanya. Untuk mengetahui detail mengenai pemain bernama lengkap Irfan Haarys Bachdim ini, anda cukup mengetik Irfan Bachdim di Google pasti langsung muncul profilnya di berbagai website.
Irfan Bachdim dengan kostum FC Utrecht
Kualitas nyata dari didikan sepakbola Eropa yang bisa kita lihat pada pertandingan itu adalah stamina dari Irfan yang seolah tidak kelelahan meskipun telah memasuki menit ke-70. Saya bersama teman-teman yang menonton waktu itu, mencoba membandingkan dengan pemain Indonesia lainnya dan dari raut mukanya terlihat nyata perbedaan stamina dari mereka. Irfan memang tidak terlalu istimewa dalam skill, namun ia mempunyai kualitas yang bagus dari akurasi tendangan dan skill jika one on one dengan kipper lawan. Paradigma yang salah dari banyak pesepakbola Indonesia adalah mendewakan skill namun miskin stamina dan akurasi tendangan.
Kualitas nyata dari didikan sepakbola Eropa yang bisa kita lihat pada pertandingan itu adalah stamina dari Irfan yang seolah tidak kelelahan meskipun telah memasuki menit ke-70. Saya bersama teman-teman yang menonton waktu itu, mencoba membandingkan dengan pemain Indonesia lainnya dan dari raut mukanya terlihat nyata perbedaan stamina dari mereka. Irfan memang tidak terlalu istimewa dalam skill, namun ia mempunyai kualitas yang bagus dari akurasi tendangan dan skill jika one on one dengan kipper lawan. Paradigma yang salah dari banyak pesepakbola Indonesia adalah mendewakan skill namun miskin stamina dan akurasi tendangan.
Sayang sekali Kapten Timnas Firman Utina seolah hanya menjadi pengumpan bola untuk Christian Gonzales. Ia jarang sekali mensuplai bola ke Irfan, apa sebabnya? Tanya pada rumput yang bergoyang. Kami yang menonton sepanjang pertandingan juga sangat jengkel, seolah-olah justru Firman Utina yang takut kalau Irfan mencetak gol, aneh bukan?! Seharusnya ia bisa seperti Juan Roman Requelme semua diumpan bahkan ke pemain yang tidak pernah bertegur sapa dengan dia sekalipun!
Lepas dari semua itu, kita bisa bernafas lega karena semakin besar kemungkinan untuk pemain keturunan Indonesia yang bermain di Eropa untuk bermain di Tim Nasional Indonesia. Gol pamungkas yang dicetak oleh Irfan dalam pertandingan itu seolah menjadi bukti dari ketajaman kualitas Eropa di timnas kita sekaligus menampik pendapat dari Ketua Badan Tim Nasional PSSI Rahim Soekasah yang pernah meragukannya beberapa waktu lalu (di Goal dot com kalau tidak salah silahkan di cari di Google).
Pemain Keturunan Indonesia di Liga Eropa
Selain Irfan sebenarnya banyak sekali pemain keturunan Indonesia di Liga Belanda. Saya ingin menampilkan nama dan fotonya karena mereka berwajah sangat Indonesia, sama seperti Irfan (ada bule-nya, Tiong Hoa-nya, Negro-nya tapi dikit lah). Inilah foto-foto mereka dengan seragam klubnya masing-masing bisa dicari di Google dengan kata kunci
Radja Nainggolan (Piacenza, Italia)
Sigourney Bandjar (SBV, Exelcior, Belanda)
Raymond Soeroredjo (Vitesse, Belanda)
Marciano Kastoredjo (FC Utrecht, Belanda)
Marvin Wagimin (VVV Venlo, Belanda)
Levi Risamasu (NAC Breda, Belanda)
Masih banyak lagi pemain keturunan Indonesia yang salah satu orang tuanya (Ayah atau Ibunya) masih memegang kewarganegaraan Indonesia. Di antara puluhan pemain berdarah ganda itu adalah Johny Hestinga, Michael Timisela, Sven Taberima, Christian Sapusepa, Robert Timisela (Ajax Amsterdam), Mathija Marunaya, Gaston Salasiwa (AZ Alkmaar), Ignacio Tuhuteru, Raphael Tuanakotta (FC Groningen), Marciano Kastoredjo, Max Lohy, Stefano Lilipaly (FC Utrecht), Domingus Lim-Duan, Nelljoe Latumahina, Juan Hatumena, Petg Toisuta (FC Zwolle), Djilmar Lawansuka (Feyenoord Rotterdam).
Di samping itu masih puluhan pemain keturunan lainnya yang terpencar-pencar di belasan kub Liga Belanda, baik yang masih berstatus yunior maupun sudah terbilang berpengalaman. Di antara mereka yang namanya cukup dikenal di sana adalah Donovan Partosubroto yang baru berusia 17 tahun dan menjadi kiper di klub Ajax Amsterdam Yunior. Nama-nama lainnya adalah, Raphael Tuankotta (21, Volendam Yunior), Justin Tahaparry (21, FC Eindhoven), Estefan Pattinasarani (17 tahun, AZ Alkmaar), Marvin Wagimin (17 tahun, VVV Venlo), Tobias Waisapy (18,Feyenoord Yunior), Raymond Sosroredjo (17, Vitesse Yunior).
Besar kemungkinan masih banyak pemain keturunan Indonesia, yang salah satu orang tuanya masih memegang kewarganegaraan Indonesia, bermain di klub-klub Eropa di luar Belanda. Untuk itu, pemain di Liga Lokal harus punya cita-cita untuk main di Liga Eropa. Masak kalah sama Thailand yang rata-rata bermain di Liga Jerman.
Pengen Berlaga di World Cup? Main di Eropa dulu dong!
Salah satu contoh buruk adalah pesepakbola Indonesia Boaz Salossa. Di antara sekian banyak kebaikannya, dan segala macam skill yang dimilikinya, ada satu yang kurang. Yakni disiplin. Hal ini bisa didapatkan sebenarnya jika dia bisa bermain di Eropa. Konon kabarnya pernah ada tawaran main di Eropa tapi ditolaknya (aneh bukan?). Jadi sudah sepantasnya jika dia tidak dimasukkan daftar pemain Timnas di Piala AFF. Berikut ini adalah beberapa pemain Indonesia yang serius pernah bermain di Liga Eropa antara lain: Kurniawan Dwi Yulianto (FC Luzern, Swiss), Bima Sakti (FC Helsinborg, Swedia), Kurnia Sandi (Sampdoria, Italia). Ayo siapa pemain Indonesia lainnya yang mau menyusul? jangan cuma jadi jago kandang! lebih baik jadi cadangan di Tim Eropa daripada pemain inti di Tarkam.
Negara-negara Asia (bahkan semua benua) yang sepakbolanya bagus rata-rata mengekspor pemainnya untuk bermain di Liga Eropa. Lihat saja negara seperti Pantai Gading, Togo, Jepang, dan Korea Selatan. Mereka pergi ke Eropa untuk bermain di klub-klub besar dan pulang ke Timnas sebagai pemain hebat. Untuk pemain Grade A rata-rata bermain di Liga Spanyol, Inggris dan Italia, Grade B di Liga Jerman, Belanda dan Perancis, Grade C di liga-liga negara Eropa sisanya (Liga Belgia, Skotlandia, Yunani, dll). Tidak usah jauh-jauh ke Liga Eropa, pemain-pemain Tim Nasional bisa mulai dari yang terdekat di Liga Jepang atau Liga Australia juga sudah cukup bagus. Jadi suatu saat kita bisa membayangkan bahwa timnas kita ada pemain dari MU, Juventus, Barcelona, dll. Bagus khan? Jangan cuma jadi kodok dalam baskom.
EmoticonEmoticon