Dahulu kala saat saya pertama kali packing barang-barang saya dan bersiap untuk kuliah. Satu pesan orang tua saya yang paling utama, untuk kuliah yang ‘bener’ dengan manifestasi yang lebih nyata adalah menjadi mahasiswa “dapur, sumur, kasur.” Mahasiswa yang tahunya hanya berangkat kuliah, masak (jaman sekarang pada makan di warung Cak! Jaman saya ya masak), kemudian tidur. Harapannya dengan rutinitas yang membosankan itu, maka si mahasiswa akan belajar dengan baik, lulus dengan cepat, dan IPK di atas 3 (syukur-syukur cum laude).
Faktanya, saya tidak dapat menuruti sepenuhnya anjuran orang tua saya. Saya justru sibuk dengan kegiatan, ikut organisasi, berteman dengan banyak orang. Awalnya, hal ini semata-mata hanya untuk mencari sesuap nasi untuk menyambung hidup. Saya menulis pengalaman ini pada artikel sebelumnya di blog ini juga. Kegiatan yang saya jalani bisa menghasilkan sedikit tambahan uang atau paling tidak makanan sehingga saya tidak perlu memasak makanan di hari itu. Ironis memang menjadi mahasiswa dengan modal pas-pasan.
Hikmahnya saya peroleh jauh lima tahun kemudian. Bulan Februari 2005, saya wisuda dengan IPK pas-pasan tapi untuk tidak menyandang predikat “dikasihani”. Saya bekerja keras mulai skripsi dengan mencari donatur dengan ikut penelitian yang dibiayai sebuah lembaga, sampai pada akhirnya menghadapi satu dari dua dosen pembimbing yang sangat menjengkelkan (tapi satunya baik hati dan beliau sudah Almarhum). Lima orang mahasiswa bimbingannya mundur dan memilih dosen lain dan hanya saya yang lulus dengan tanda tangan beliau di karya skripsi saya.
Hari pertama saya lulus, saya seperti orang linglung. Begini kah akhir dari perjalanan sekolah yang saya alami sejak tanggal 22 Juli 1985 saat pertama kali saya memakai seragam Taman Kanak-Kanak (TK) sampai 20 tahun kemudian tanggal 19 Februari 2005 saya diwisuda. Pulang kampung, Ibu saya menangis dua hari tidak bisa diam, seolah besok matahari terbit dari barat, dan kiamat datang meluluhlantakkan bumi. Apa lacur? Anak laki-laki pertama yang terkenal pandai sejak SD, SMP, SMU lulus dengan IPK 2,70 dan tidak bisa mendaftar PNS di Departemen Kehutanan. Sedangkan orang yang disedihkan yakni saya, justru mengucap syukur. Pengalaman saya berorganisasi dan memiliki banyak relasi ternyata membuahkan hal yang manis.
Betapa tidak, ternyata tanpa IPK saya masih bisa bekerja dengan gaji Rp. 750.000,-/bulan kemudian mendapatkan pengalaman jurnalistik dan berbagai macam pergaulan dengan banyak teman sehingga bisa disebut “punya sedikit kemampuan” di bidang pemberdayaan masyarakat dan resolusi konflik. Pada tahun 2007 akhir Januari saya meninggalkan pekerjaan di Jogja dan pindah ke Kalimantan Selatan dengan gaji Rp 1.750.000,-/bulan ditambah beberapa fasilitas kecil lainnya kurang lebih dua juta rupiah, dimana teman-teman saya yang PNS pun belum mencapai penghasilan sejumlah itu.
Perjalanan berlanjut, pada awal Mei 2008 saya mendapatkan pekerjaan baru di bidang yang sama di sebuah perusahaan di Tarakan Kalimantan Timur dengan wilayah kerja di Bulungan, Tidung Pala, dan Malinau dengan gaji pokok Rp5 Juta per bulan dengan beberapa fasilitas lain menjadi kurang lebih Rp7 juta per bulan. Hal ini sedikit mendiamkan tangis Ibu saya (karena setiap melihat seragam PNS Ibu saya pasti menangis karena melihat yang menjadi PNS di daerah kelahiran saya, orang-orangnya tidak lebih pintar dari saya weleh-weleh paling tidak itulah menurut beliau, ya saya hargai saja).
Dua itu saja, karena biar tidak terkesan pamer (slow down Cak!) lalu pada akhir Desember 2008 saya menikah dengan pacar saya. Seorang wanita yang cantik jelita (bahkan sampai-sampai teman-teman FB saya bilang beauty and bedhes kalau comment di foto saya wahahaha). Istri saya juga seorang aktivis yang sesuai bidangnya ia seorang Sarjana Pendidikan jurusan Bahasa Inggris untuk usia dini. Ia banyak mengajar secara privat di Jakarta, dan selalu disisipkan kecintaan terhadap lingkungan. Saat saya pindah dari Kaltim dan mendapat pekerjaan lain, ia mengikuti saya sebagai istri yang luar biasa baiknya. Keluar masuk hutan, pedalaman dan tempat-tempat yang jauh dan sepi jika dibandingkan dengan tempat tinggalnya di Jakarta. (Bersambung)
7 comments
Bener banget Mas Dab, pasti sampeyan dulu keluyuran di gelanggang ya? tapi buktinya bisa kerja to? emang tidak hubungan kok IPK sama bisa bekerja apa tidak he3x banyak yang IPK kemelut ga karuan juga ga bisa kerja, baru 3-6 bulan di tempat kerja sudah keluar karena tidak tahan dengan sistem kerja
saat ini saya dkk saya (6 org) mengalami hal yg serupa Mas (" sedang sidang TA dgn kendala
IPK :( ")..
tapi mang bener,,IPK tanpa kemauan keras untuk berkarya,,BUAT APA!
salut buat anda Mas.. :)
semangat lagi neh..
Tenang saja Bro, intinya perbanyak kegiatan dan sosialisasi dgn byk organisasi. Trus buat jaringan utk usaha mandiri dengan teman2, jadi pengusaha kecil2an dulu, saya jg pernah dagang susu kedelai di 4 sekolah SD di Jogja, dan itu gajinya paling tinggi sampai sekarang Bro, soalnya tiap satu sekolah (satu termos) untung bersih 60rb kalikan empat. Kerja cm dari shubuh sampe jam 1 siang
Good story can...salam kenal
Maksudnya... *cak
waduh sayang mas..coba jadi pns didaerah malinau gajinya dah sampe 13 juta untuk staf
Dulu daftar cpns gak pake IPK tapi sekarang pake standar IPK minimal, ampun deh
EmoticonEmoticon