Dengan berlakunya tarif listrik tanpa subsidi (nggak mau disebut naik, cuma cabut subsidi) saat ini, sudah terbukti telah membuat ribuan pengusaha kecil kelimpungan. Sedangkan progres pembangunan jaringan listrik di pedalaman sama sekali tidak terdengar.
Pengusaha kecil mulai pemilik laundry, warnet, fotokopi, rental PS dll bingung. Sebab mau menaikkan tarif takut kehilangan pelanggan, tapi jika tidak naik, tidak bisa menutup ongkos produksi. Ditambah lagi, mereka harus nyicil ke bank karena modal dari KUR. Ini memang perkara yang sama sekali tidak diperhitungkan oleh pembuat kebijakan.
Usulan saya jelas, jika sama-sama tidak disubsidi, mendingan langsung saja swasta diizinkan menjual listrik ke warga. Itu lebih fair. Alasannya sederhana, 'berkaca dari pengalaman' dulu saat DAMRI masih menguasai dan menjadi pemain tunggal, bismania tahu sendiri bagaimana dunia transportasi darat itu.
Setelah banyak saingan swasta bermunculan, kita tentu milih naik Lorena, Rosalia Indah, ALS, Eka, Mira, Hasti, Sumber Kencono dll. Dulu saat belum ada provider telepon seluler, lihat kelakuan PT Telkom. Telepon mangkrak tidak dipakai telepon hanya untuk terima saja dibebani biaya abonemen. Sekarang setelah orang banyak pakai HP, ya modarlah si telepon rumah itu.
Jadi, jika memang pemerintah mau cabut subsidi listrik semuanya, oke tidak apa-apa. Tapi kami harus diberikan banyak pilihan, biarkan swasta bebas menjual listrik ke masyarakat. Sekarang, mau adil bagaimana PLN, mau pasang untuk rumah 900 watt saja susahnya minta ampun, giliran pusat perbelanjaan yang besar dayanya 100 kali rumah tangga, langsung di acc.
Tidak ada solusi lain, selain melepaskan saingan biar PLN bisa bertarung dengan perusahaan-perusahaan swasta. Bebaskan mereka jual listrik langsung ke masyarakat. Jika tidak, pemerintah bantun setiap desa agar punya pembangkit listrik mikro hidro atau pembangkit listrik tenaga surya komunal dan pengelolaannya di BUMDes masing-masing biar tidak melibatkan PLN.
EmoticonEmoticon