Thursday, September 15, 2016

Kemacetan Jalan Baru Menuju Kota Tua Singasari

Suatu hari di tahun 1360, beberapa bulan setelah Sang Prabu Hayam Wuruk atau Rajasanagara naik tahta. Sang Prabu ingin jalan menuju Kota Tua Singasari diperlebar hingga bisa dilewati empat kereta kuda yang saling berpapasan. Dua di kiri dan dua di kanan.

Ki Juru Margo atau Margo Baurekso wilayah Singasari Dyah Waradana pun mengutus pembantunya memanggil anak buahnya Ra Gagas (belum diketahui apa hubungan Ra Gagas dengan Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Pangsa dan Ra Banyak). Ra Gagas pun datang dengan tergopoh-gopoh ke kediaman Sang Margo Baurekso.

"Ra Gagas, ada perintah langsung dari Kota Raja, jalan menuju tempat kita agar diperlebar lagi, agar lalu lintas kereta kuda bisa lebih lancar, apalagi saat pergantian tahun Saka bakal banyak yang berkunjung ke sini," kata Waradana.




"Ampun Gusti, bukankah jalan itu baru saja dilebarkan dari jalan setapak sudah bisa dilewati dua kereta kuda yang berpapasan," kata Ra Gagas sambil menghaturkan sembah sungkem kepada sang atasan.

"Ra Gagas, kita punya raja baru dan ini mungkin kebijakan baru Sang Prabu, sudah laksanakan saja, hubungi juga Bekel Mahasura agar mempersiapkan seluruh anak buahnya membantu kelancaran pembangunan jalan itu," kata Waradana dengan tegas.

Ra Gagas pun pamit dan langsung menuju rumah Bekel Mahasura (Bekel perwira menengah sekelas Letkol atau AKBP). Sampai di rumah Sang Bekel, Ra Gagas segera mengutarakan maksud kedatangannya. Bekel Mahasura pun geleng-geleng kepala. Namun menyatakan siap menjalankan perintah.

"Aduh...aduh Ra Gagas, sejak aku masih prajurit dan ikut Gusti Patih Gajah Mada pada saat masih menjadi Bekel, baru kali ini disuruh membuat jalan, bisa-bisa besok turun ke sawah. Ya, tapi tidak apa-apa, akan segera aku laksanakan," kata Bekel Mahasura.

Singkat cerita, jalan pun dibuat lebar, jalan bebas hambatan. Empat kereta kuda bisa saling berpapasan. Namun ada satu hal yang tidak disadari, ternyata Ki Juru Niyogo atau Baurekso Niyogo yakni Dyah Kayana telah menerima perintah raja juga agar memberikan subsidi pada pengrajin kereta kuda.

Sehingga kereta kuda menjadi barang murah dan banyak orang-orang menengah bahkan orang miskin dengan sistem hutang bisa membeli kereta kuda. Meski kuda penariknya hanya kuda jempor. Alhasil, jalan pun macet, kacau ditambah kuda-kuda yang tidak berkualitas saling bertabrakan.

Ra Gagas pun buru-buru melapor kepada Dyah Waradana atas kejadian tersebut. Ia setengah berlari ngos-ngosan memasuki pendopo.

"Ra Gagas! Ada apa?! Masuk seperti maling saja," hardik Waradana.

"Ampun Gusti, terjadi kekacauan di jalan baru, awalnya kereta terlalu banyak, terjadi macet total, kemudian kuda-kuda yang mereka pakai kuda murahan akhirnya mengamuk dan saling bertabrakan," kata Ra Gagas sambil menyatukan dua tangannya dalam sungkem yang sempurna.

"Waduh jagat dewa batara, apa lagi ini? terus bagaimana keadaannya? Berapa korbannya?" tanya Waradana penuh selidik.

"Untuk korban jiwa manusia, tidak ada Gusti, hanya puluhan kuda-kuda yang saling bertarung mati dan kereta kuda rusak, beruntung program kerajaan penataran empat ajian wajib, Aji Seipi Angin, Aji Gajah Sewu, Aji Brojomusti dan Aji Lembu Sekilan sudah sukses dikuasai semua generasi muda, mereka yang menolong orang-orang tua mengeluarkannya dari kekacauan," kata Ra Gagas.

Akhirnya, keduanya pun duduk lemas di pendopo itu. Beruntung meski program pelebaran jalan itu gagal total. Namun program penguasaan empat ajian utama sudah berhasil sehingga bisa mengurangi dampak kekacauan.

NB: 
Aji Seipi Angin sebuah ilmu meringankan tubuh dan berlari kencang, 
Aji Gajah Sewu suatu ilmu bisa mengangkat benda-benda berat dengan kekuatan seribu gajah, 
Aji Brojomusti suatu ilmu yang merubah tangan menjadi godam api merah menyala yang bisa menghancurkan batu dan 
Aji Lembu Sekilan suatu ilmu yang menjaga pemiliknya dari pukulan dan deraan dengan jarak satu jengkal tangan.


EmoticonEmoticon

Popular Post