Thursday, September 15, 2016

Kaum Gagak Mencaci Maki Doa Kyai Mardikun

Suatu hari di pertengahan tahun 1808, Kyai Mardikun duduk di beranda rumahnya yang sederhana, sebuah desa yang permai di dekat Tuban. Tepat di depannya sedang dipersiapkan pembangunan jalan yang kelak bakal dikenang sebagai jalan yang bersejarah. Jalan yang dibangun Tuan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels atau yang biasa dipanggil Raden Mas Galak.

Mardikun memandang lurus ke seberang jalan, sebuah bangunan dari kayu jati berdiri memanjang di ujungnya terdapat Masjid Baiturrahim. Dalam bangunan rumah panjang Pondok Pesantren Darul Rahman itu, para santrinya sedang belajar. Sebenarnya, usai menunaikan ibadah haji di Mekah, Mardikun bergelar Kyai Abdurrahim, tapi tidak seperti yang lain, dia masih suka dipanggil dengan nama aslinya, Mardikun.

"Assalamualaikum...Romo Kyai," kata seorang santrinya sambil menyalami dan mencium tangan sang guru.

"Waalaikum salam warahmatullah...ada apa Darojati?"

"Ini Romo, ada surat diantarkan utusan dari Demak, kata utusan tadi penjenengan harus membacanya karena ada tugas juga untuk penjenengan," kata santri yang bernama Darojati itu.

"Ya, kamu tolong ambil kitab dan ajari adik-adikmu di pondok, biar aku baca dulu isi surat ini," kata Mardikun.

--0--0--0--



Surat itu ternyata dikirimkan temannya semasa kecil, Dirja yang menjadi Balamantri (prajurit perwira) di Keraton Surakarta. Dirja menyebut dalam suratnya bahwa Tuan Daendels telah menimbulkan ketegangan dengan para raja. Sikap angkuh dan menjurus ke kasar.

Daendels membuat peraturan baru Minister berhak duduk sejajar dengan raja, memakai payung seperti raja, tidak perlu membuka topi atau mempersembahkan sirih kepada raja, dan harus disambut oleh raja dengan berdiri dari tahtanya ketika Minister datang di kraton. Ketika bertemu di tengah jalan dengan raja, Minister tidak perlu turun dari kereta tetapi cukup membuka jendela kereta dan boleh berpapasan dengan kereta raja. Soal aturan itu di Surakarta Sunan Paku Buwono IV menerima ketentuan ini sedangkan di Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono II tidak mau menerimanya.

Namun itu tidak seberapa, Daendels telah membangun jalan pos yang menghubungkan ujung barat ke ujung timur Pulau Jawa dengan kerja rodi. Meski diupah tapi jauh dari layak dan menimbulkan korban ribuan orang. Selain itu, rakyat juga harus menjual hasil bumi kepada pemerintah Hindia Belanda (Verplichte Leverantie) dan dibebani pajak hasil bumi (Contingenten). Untuk wilayah Priangan, warga diwajibkan menanam kopi (Prianger Stelsel).

Di akhir suratnya, Dirja mengatakan meski dianggap sangat menyengsarakan rakyat, namun ada kaum yang sangat memuja Daendels. Bahwa semua yang dilakukan Daendels itu untuk kesejahteraan masyarakat Jawa Dwipa. Kaum itu oleh orang-orang Eropa lawan politik Daendels disebut La Corneille [la kornel berarti burung gagak dalam Bahasa Prancis). Sebab mereka tega melihat banyak manusia mati demi mendukung Daendels sang junjungan.

"Mardikun, dua purnama lagi, ada pertemuan di Surabaya, akan hadir Tuan Koenraad, Minister utusan Tuan Daendels. Kami semua sepakat, saat pembacaan doa, kamulah orang yang tepat memegang amanah itu," kata Dirja mengakhiri suratnya.

--0--0--0--



Mardikun duduk di depan berjejer dengan residen, pejabat ningrat dan kalangan pemerintahan Hindia Belanda. Minister Koenraad dengan semangat memaparkan keuntungan-keuntungan pembangunan jalan pos itu. Tidak ada satu pun yang berani menyela atau menanyakan soal ribuan korban yang mati di Priangan. 

Semua hanya diam, terpaku dan sesekali bertepuk tangan. Namun anehnya, dalam ruanga itu, banyak yang bertepuk tangan dengan keras bahkan sangat bersemangat. Meski wajahnya, wajah Jawa Dwipa. Oh, itu mungkin orang-orang yang kehilangan akal dan nuraninya seperti yang disebut Dirja dalam suratnya, itu mungkin Kaum Burung Gagak itu, batin Mardikun.

"Silahkan Pak Kyai Abdurrahim, kami minta untuk memimpin doa agar pembangunan jalan ini bisa berjalan lancar, monggo silahkan," kata laki-laki berkumis dengan blangkon necis yang bertindak sebagai pranatacara.

Mardikun pun maju ke panggung dan kemudian menengadahkan kedua tangannya, setelah membaca basmalah, tahmid dan menyampaikan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, Mardikun pun berdoa:

"Ya Allah, lindungilah dan selamatkanlah kami dari pemimpin-pemimpin yang dhalim. Ya Allah ya Rahman jangan biarkan kami menjadi kuli di negeri kami sendiri. Ya Allah ya Rahim kasihanilah kami, dimana-mana rakyat kami mati di jalan-jalan karena kelaparan akibat penindasan..."

Belum sampai berakhir doa yang diucapkan, Kyai Abdurrahim alias Mardikun ditangkap. Kaum La Corneille yang sebagian besar Jawa Dwipa mencaci Mardikun karena dianggap menghambat pembangunan. Mardikun pun diasingkan. "Kami tahu pesan dari sahabat Nabi Muhammad SAW yakni Ali bin Abi Thalib RA bahwa kejahatan-kejahatan ini bisa hebat bukan karena penjahat yang hebat tapi karena orang-orang baik belum bersatu atau belum mempunyai kesempatan di negeri ini untuk membuat kebijakan-kebijakan yang baik yang bisa menekan kejahatan-kejahatan itu," kata Mardikun sesaat sebelum dibawa ke tahanan.



EmoticonEmoticon

Popular Post