Monday, December 8, 2014

Jualan Komoditas Bernama Kemiskinan

Kemiskinan bagi sebagian orang mungkin bukan suatu masalah. Kaum sufi salah satunya. Namun bagi sebagian besar lainnya, kemiskinan merupakan suatu masalah besar. Musuh bersama dan monster menakutkan yang harus dienyahkan.

Namun sadar atau tidak, sebenarnya banyak orang-orang yang teriak kemiskinan harus dihapuskan, tapi faktanya jauh di dalam lubuk hati mereka muncul sebuah kekhawatiran. Ya, khawatir karena mereka itu 'pedagang' 'penjual' komoditas bernama kemiskinan.


                                                        karikatur diambil dari: purwoudiutomo.com

Secara garis besar, ada dua golongan yang 'biasa' jualan komoditas ini. Pertama oknum politisi untuk meraih hati para konstituennya. Kedua, oknum NGO atau LSM untuk bahan proposal ke lembaga donaturnya. Akhirnya, kemiskinan bukan dienyahkan. Justru jadi bahan retorika, kampanye, tulisan-tulisan di media massa dan bahan proposal.

Lalu bagaimana nasib si miskin? ya tetap miskin. Sebab persoalan utama di Indonesia ini sebenarnya distribusi kekayaan. Hasil bumi air Indonesia yang begitu besar, hanya dikuasai beberapa persen warga negara. Sedangkan sifat kedermawanan baik melalui charity, filantropi maupun community development masih sedikit dilakukan golongan si kaya.

Nah, jauh lebih parah lagi kalau oknum politisi dan oknum NGO yang hobi 'berdagang' ini bergabung menjadi satu. Ya, akhirnya NGO yang seharusnya mengkritisi pemerintah, justru menjadi garda depan mencari pembenaran setiap kebijakan pemerintah.Padahal kebijakan itu, tidak sepenuhnya benar. Namun seolah dipaksakan dengan pembenaran yang masif di media dengan narasumber aktivis-aktivis NGO tadi. Simbiosis mutualisme yang sangat padu.

Ya, kalau dihitung-hitung, daripada mencari lembaga donor setiap tahun. Lebih baik, punya donatur abadi meski sifat NGO-nya jadi aneh. Sebab seolah jadi tidak peduli dengan kondisi riil di masyarakat. Kaum miskin dibuai dininabobokkan dengan segala retorika, hingga mereka lupa. Perut yang lapar, harga bahan pokok yang semakin hari semakin melambung.

Pada akhirnya, si miskin tetap saja kesulitan membeli sembako karena inflasi tidak terkejar dengan pendapatan tiap bulan. Si miskin tetap saja antre berderet-deret di Kantor Pos. Hanya demi uang Rp400 ribu, padahal beban yang ditanggung akibat kenaikan BBM dua sampai tiga kali lipat nilai uang itu.

Si miskin tetap saja bingung, urusan sekolah anaknya. Ya, sekolahnya memang gratis tapi anaknya perlu uang saku, sekolah yang cukup jauh di pedalaman harus naik kelotok, tarif kelotoknya mahal karena solar naik. Bagi para penjual kemiskinan, semoga lekas sadar, bahwa kemiskinan bukan komoditas. Namun kemiskinan merupakan monster yang harus kita enyahkan bersama.


EmoticonEmoticon

Popular Post