Tuesday, September 15, 2009

Tutorial Membagi Zakat Yang Benar

Menjelang berakhirnya Bulan Ramadhan, satu agenda yang sangat penting bagi kaum muslimin adalah membayar zakat dan membaginya kepada yang berhak. Sayang sekali, sampai saat ini sepertinya banyak kalangan yang kurang bijak dalam hal pembagian zakat ini. Bagaimana sebenarnya cara membagi zakat/sedekah yang baik, efektif dan efisien?

Sedekah Terbaik--Tangan di atas jauh lebih baik daripada tangan di bawah. Artinya, bersedekah lebih utama daripada menerima sedekah. Sedangkan sedekah yang paling utama adalah yang diberikan dengan diam-diam bahkan diibaratkan tangan kanan memberi tanpa diketahui tangan kiri.

Sebenarnya Islam sudah mengajarkan dengan jelas bahwa membagi zakat harus didahului dengan pembentukan panitia (amil). Amil inilah yang akan menampung zakat dari warga yang mampu dan kemudian setelah terkumpul, amil mempunyai kewajiban untuk mendistribusikan kepada yang berhak. Amil ini juga merupakan salah satu golongan yang berhak menerima zakat.

Sayangnya, banyak dari kalangan orang mampu bahkan ada juga dari pihak masjid yang masih salah kaprah dalam hal membagi zakat dengan mengumpulkan masyarakat. Kumpulan massa ini berpotensi menimbulkan korban karena terinjak-injak bahkan sampai ada yang meninggal karena berdesak-desakan. Ini semua karena kita tidak mematuhi tata cara membagi zakat dengan benar.

Jika kita kaji kembali, teori pembagian zakat ini sebenarnya sangat mudah bentuk amil, kumpulkan zakat, lalu bagi ke rumah-rumah orang yang berhak. Datangi rumah-rumah mereka seperti yang dicontohkan zaman Rasul dan sahabat. Bukan mengumpulkan mereka sehingga menjadi konsentrasi massa. Apabila itu anda lakukan, pertama jelas rawan terjadinya desak-desakan bahkan sampai meninggal, kedua tertolaknya amal anda karena riya' ingin dipuji dan alasan lain yang tidak syar'i. Jadi jangan pernah mengumpulkan masyarakat sehingga membuat antrian seperti pengemis, ikuti cara pembagian zakat yang benar. 

 

Tuesday, September 8, 2009

Indonesia Bukan Satu-satunya Korban Klaim Malaysia

Gambar: Peta sengketa blok ambalat antara Indonesia Vs Malaysia

Setelah mencaplok Pulau Sipadan Ligitan dan adu otot mengenai Blok Ambalat, klaim Malaysia atas aset-aset budaya Indonesia membuat geram seluruh lapisan masyarakat kita. Klaim terhadap Lagu Rasa Sayange, Reog Ponorogo, Angklung, Batik, dan terakhir klaim
Tari Pendet yang nyata-nyata berasal dari Bali yang amat jauh dari budaya rumpun melayu. Saat saya membuka website malingsia yang merupakan link dari blog saya. Betapa kagetnya saya, ternyata kita bukan satu-satunya korban dari negeri penjiplak nomor wahid dunia Malaysia.



Gambar: Perbandingan antara Logo Taiwan dengan Logo Malaysia
 
Jika kita perhatikan dengan seksama Logo Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Malaysia ke-51, akan tampak sangat mirip (bahkan sama) dengan Logo dari Taiwan. Tulisan “It’s very well. Made in Taiwan diganti dengan “Sambutlah Ulang Tahun Kemerdekaan Ke-51” dan di bagian bawah "Perpaduan Teras Kejayaan". Sedangkan gambar dari logo tersebut hanya ditambahkan bulatan kecil (seperti kepala manusia) sedangkan lainnya sama hanya dirubah warnanya saja. Apakah Malaysia tidak punya anak muda yang ahli grafis? Apa perlu mengirim mahasiswanya belajar di Kampus MSD Jogja? (Soal e koncoku ampuh grafis e kuliah ndik kono Cak!). Saya mencoba bertanya kepada teman-teman di perusahaan saya. Kebetulan Bos sebelumnya adalah orang “India” Malaysia. Orang Malaysia sendiri yang non melayu resah karena di negaranya sendiri mereka juga merasa banyak budaya mereka di plagiat oleh kaum melayu malaysia. Mereka terkenal tidak kreatif, suka meniru usaha atau kegiatan dari etnis lain yang ada di negeri jiran tersebut. Di Malaysia diberlakukan peraturan sedemikian rupa sehingga orang-orang “India” Malaysia maupun “China” Malaysia sangat dibatasi geraknya.

Gambar: Logo plesetan dari visit malaysia
Kasus Bom yang selama sepuluh tahun terakhir mendera Indonesia, notabene dipimpin oleh dua orang warga negara Malaysia. Dr. Azahari (Alm) dan Noordin M Top (semoga cepat Alm). Sementara itu, isu yang berkembang Indonesia yang dicap sebagai negara teroris. Pariwisata kita jatuh, kunjungan wisatawan berkurang, klub Manchester United tidak jadi datang bermain dengan timnas Indonesia. Sementara Malaysia justru sebaliknya, mereka gencar mempromosikan pariwisatanya (meskipun memakai budaya negara lain yang diklaim secara sepihak). Klub MU bisa main dua kali di Malaysia, bahkan beberapa MU mania Indonesia sampai menonton kesana. Bayangkan uang yang diraup oleh Malaysia dan di sisi lain kerugian milyaran dari panpel di Indonesia. Apakah ini suatu skenario? Hanya BIN yang mempunyai kewenangan untuk menyelidiki dan mencari jawabannya.

Malaysia seharusnya menyadari, banyak sebenarnya budaya melayu yang agung dan luhur untuk dipromosikan. Di masa lalu, Kerajaan Malaka merupakan salah satu kerajaan yang disegani di kawasan Nusantara. Mengapa harus meniru negara lain? Malaysia seharusnya menggali potensi budayanya sendiri. Lebih parah lagi, saat ini lagu-lagu dari band Indonesia jauh lebih digemari daripada lagu-lagu Malaysia yang bercorak melayu yang mendayu-dayu. Dari sejak saya TK sampai sekarang jika mendengarkan acara “Alamak’ (Ajang Lagu Malaysia) di radio, lagu Malaysia begitu-begitu saja. Pantaslah jika konser Kangen Band di Entikong banyak diserbu warga Malaysia di perbatasan, toko-toko kaset di Malaysia dipenuhi kaset dan CD dari Peter Pan, Padi, Dewa, Slank, dll.

Isu terakhir bahkan lagu kebangsaan Malaysia merupakan jiplakan dari lagu Terang Bulan dari Indonesia. Terlepas lagu itu notasinya diciptakan oleh orang Perancis namun fakta bahwan Presiden RI pertama Bung Karno pernah memberikan piringan hitam lagu “Terang Bulan” bisa dipastikan arah dari mana penjiplakannya. Bahasa Perancis sangat sulit dipelajari dan dilafalkan, jika saya menjadi penjiplak tentu saya lebih memilih Lagu Indonesia yang bahasanya lebih saya mengerti. Pesan damai untuk Malaysia, galilah budayamu sendiri, tunjukkan pada kami bahwa kalian berbudaya dan bukan sekedar kumpulan manusia tanpa akar budaya yang jelas. Terima Kasih.

Mengurai Konflik Tenurial di Kalimantan Tengah

Pulau Kalimantan merupakan salah satu pulau besar di Dunia. Pulau yang lebih dikenal dunia dengan sebutan Borneo ini memiliki luas 743.330 km² mencakup wilayah Brunai dan Malaysia. Kawasan Borneo yang masuk dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia di sebut Kalimantan. Menurut Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya Sriwijaya (LKIS 2006), Kalimantan berasal dari Bahasa Sanksekerta Klemantan berasal dari kata Kalamanthana yaitu pulau yang udaranya sangat panas atau membakar.

foto: pembakaran lahan untuk bertani dalam sistem ladang berpindah

Kalimantan secara administratif dibagi menjadi empat propinsi. Permasalahan lahan atau yang lebih lazim disebut konflik tenurial merupakan persoalan utama di Kalimantan. Lahan yang begitu luas ini dikelola oleh masyarakat dengan sistem berladang berpindah sejak jaman dahulu. Hal ini menyebabkan tumpang tindih kepemilikan lahan yang kronis. Permasalahan ini semakin rumit karena baik pihak pemerintah tidak bisa menerapkan aturan secara tegas salah satunya membuat tata ruang yang bersifat hukum tetap dan mengikat.

Hal ini diperparah dengan pola pikir masyarakat masih menggunakan batas-batas berdasarkan adat yang bersifat kultural yang sangat sulit didefinisikan secara ilmiah. Desa yang merupakan ujung tombak pemerintah justru terjebak dalam perdebatan sesama mereka. Desa telah terjerumus dalam konflik berkepanjangan tanpa ada usaha untuk memperbaiki keadaan. Perlu penegasan dari pemerintah bahwa batas secara administratif harus dibedakan dengan batas secara kultural.

Perbedaan tata batas secara administratif dengan kultural bisa kita lihat penetapan tata batas antar propinsi di Jawa. Secara kultural batas Propinsi Jawa Timur di mulai dari Kabupaten Nganjuk yang secara dialek bahasa seperti layaknya Bahasa Jawa gaya timur. Sedangkan Kabupaten Ngawi, Pacitan, Madiun, Bojonegoro bisa dikategorikan Jawa Tengah. Namun batas administratif sudah ditentukan yakni Bengawan Solo sebagai batas antara Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Jawa Timur. Hal ini mengandung konsekuensi hukum dan mengikat. Sehingga tampaklah pembagian wilayah seperti yang terlihat di Peta saat ini. Pembagian ini berlaku juga untuk perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Pola ini sebenarnya bisa diterapkan di wilayah Kalimantan Tengah. Saat ini bukan hanya batas antar Desa tetapi batas antar Kabupaten belum diatur secara definitif. Langkah awal untuk penyelesaian konflik tenurial ini bisa dimulai dengan melakukan edukasi kepada masyarakat bahwa batas secara administratif adalah berbeda dengan batas secara kultural. Keduanya tidak bisa disatukan dan tidak bisa disamakan. Pemda-pemda di Kalimantan Tengah sampai saat ini menyusun batas antar desa dengan acuan adat dengan kata lain menggunakan pendekatan secara kultural. Padahal ini adalah pangkal dari permasalahan yang terjadi saat ini.

Jika salah seorang warga dari suatu desa berladang pada jarak lima puluh kilometer dari desanya maka sejauh itulah wilayah desanya menurut adat. Penetapan tata batas ini sangat menggelikan. Pola pertanian ladang berpindah yang dianut mayoritas warga memungkinkan setiap individu untuk berladang dimana saja layaknya kupu-kupu yang beterbangan di angkasa. Lalu bagaimana dengan batas antar desa? Sudah pasti kacau balau.

Pemetaan partisipatif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan baik pemerintah, LSM, maupun perwakilan masyarakat itu sendiri. Sebelumnya harus dibuat rambu-rambu yang logis misal untuk desa mempunyai home range maksimal 30 KM atau 20 KM. Sehingga Desa A wilayahnya adalah radius 30 KM selebihnya adalah wilayah desa lain. Lalu bagaimana jika ada warga Desa A yang berladang di radius 50 KM? Jika ada kasus seperti itu maka lahan garapan itu tetap milik warga Desa A namun Surat Keterangan Tanah (SKT) dibuat oleh Kepala Desa B karena wilayahnya masuk Desa B. Nah, bukankah dengan cara seperti ini wilayah suatu desa menjadi jelas? Imbasnya penentuan tata batas antar Kabupaten pun menjadi lebih mudah.

Intinya, proses reformasi yang kebablasan harus di stop dan ditata kembali. Saat ini memang kita harus partisipatif, semua harus bottom up, namun tidak berarti secara membabibuta. Semua keinginan masyarakat kita akomodir. Jika seperti itu keadaannya, lalu apa fungsinya pemerintah? Masalahnya saat ini masyarakat sudah pintar mengakali pemerintah. Seharusnya ada hukum yang secara tegas mengatur permasalahan lahan ini. Jika salah harus dihukum sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Ingat kesejahteraan bukan berdasarkan penguasaan lahan yang luas, namun bagaimana membudidayakan lahan tersebut menjadi lebih produktif dan menghasilkan. Inilah mengapa transmigran yang hanya punya lahan dua hektar yang dikelola dengan intensif bisa lebih sejahtera daripada yang menguasai lahan lima puluh hektar tapi tidak dikelola dengan baik.

Popular Post