Friday, October 16, 2009

Kandidat Menteri Kehutanan Bukan Orang dari Dunia Kehutanan

Basic saya adalah kehutanan. Lima tahun saya berkutat dengan ilmu rimba raya beserta satwa liarnya (wah suwe banget kuliah e Cak!). Saya adalah anak kandung kehutanan yang kini tersesat dan sedang susah payah mencari jalan untuk kembali. Saya tetap peduli dengan semua hal yang terjadi di dunia kehutanan. Tulisan ini hanyalah sebagian uneg-uneg dan usulan saya sebagai kasta terendah dari mahasiswa kehutanan yang dulu biasa bobokan di sekretariat dan hidup dari hutang di angkringan Kang Mardi.

Pada saat berbagai media mengumumkan daftar kandidat menteri untuk periode 2009 – 2014, tak satu pun dari kandidat tersebut yang saya kenal (mungkin sampeyan kurang leh jagongan kenduren jadi kurang informasi Cak). Paling tidak, kandidat tersebut seharusnya seorang yang mempunyai reputasi di bidang kehutanan dan lingkungan. Namun apa lacur? Kelihatannya dunia kehutanan sudah seperti habis manis sepah di buang.

Orangutan di TN Tj. Puting


Dunia kehutanan salah satu yang menyumbang devisa non migas paling banyak di republik ini. Dunia ini juga mengantarkan banyak orang menjadi konglomerat. Meskipun tak bisa diingkari, bahwa devisa tersebut harus dibayar mahal dengan kerusakan lingkungan yang luar biasa. Seharusnya di saat seperti inilah, diperlukan seorang Menteri Kehutanan yang benar-benar ahli di bidangnya. Dia harusnya anak kandung dari kehutanan itu sendiri (tapi maksud e dudu sampeyan to Cak? Wong lulus wae predikat dikasihani gitu kok). Dunia kehutanan sangatlah rumit, misal masalah status lahan. Kehutanan paling serakah, lahan di luar sertifikat Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah tanah negara (masuknya Kehutanan Cak). Sementara saat ini yang diakui mendongkrak kesejahteraan masyarakat justru dari sektor lain misalnya perkebunan yang lahannya jauh lebih sedikit. Persoalan di atas masih ditambah lagi permasalahan pelik lainnya. Jika yang menangani bukan seorang profesional, suramlah dunia kehutanan lima tahun ke depan.

Jika ingin mengkaji lebih jauh, sebenarnya permasalahan utama mengapa hutan ini cenderung semakin rusak? Insan kehutanan sendiri, rimbawan rimbawati tidak mampu membuat sebuah solusi membuat masyarakat yang sejahtera berbasis hutan. Lihat saja, banyak jargon pelestarian lingkungan tapi masyarakatnya bagaimana? Tidak ada listrik, tidak ada sinyal, tidak ada akses jalan dan jembatan yang baik, jauh dari sekolah. Sedangkan yang berkoar-koar justru enak-enak hidup di kota. (Ora Cak, aku LSM lho, hidup di pedalaman menemani warga. Lah kowe digaji kok Su, maksud e jenenge Suwiskebogiraz).

Apa yang akan dilakukan forester untuk memperbaiki hutannya? Dengan program Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan dan Hutan (GN-RHL) yang sampai sekarang tidak kelihatan hasilnya secara nyata, atau dengan program HTI yang konsesinya banyak di klaim masyarakat. Bahkan di dalam konsesi ada kampung, ada desa transmigrasi, kadang malah ada Hak Guna Usaha (HGU). Mau tahu usul saya? Satu hal saja, buatlah masyarakat itu tertarik dengan dunia kehutanan. Mengalahlah untuk membuat hutan lestari. Mengalah untuk menang.

Cara pertama, galakkan program Agroforestry di seluruh Indonesia. Jika ada lahan 2 Ha, buatlah 1,5 Ha untuk tanaman kayu (biasane fast growing species Cak) dan 0,5 Ha sisanya untuk tanaman semusim (jagung, padi, semangka, dll asal bukan ganja Cak). Tanaman semusim untuk keperluan sehari-hari untuk menghindari tebang butuh (nek boso banjar saru Cak! Ganti tebang perlu). Kayunya untuk tabungan 5 tahunan.

Masih cara pertama, Agroforestry tipe kedua, semuanya ditanami tanaman kayu (sengon, akasia, jati, dll) jarak tanamnya dilebarkan, di bawah tegakannya ditanami tanaman yang tahan naungan dan bernilai ekonomi tinggi misalnya jahe, kunir mangga, iles-iles, dll. (perasaanku aku ki luwih pinter timbang IPK-ku to Cak? Walah...perasaanmu wae Ndez). Bayangkan jika ada 100.000 Ha Akasia yang diantaranya ada iles-iles kalau panen semua bisa membeli Pulau Christmas (maksud e sekali-kali kita beli pulau negara lain, ora oleh Pulau Chistmas yo Pulau Nudes yo ra popo wekekek).

Cara kedua, jika memang anda di HTI, buatkan saja masyarakat sekitarnya plasma sawit atau karet yang secara nilai komoditi lebih menguntungkan. Toh, konsesi anda hanya berkurang secuil untuk pagar keliling (bener Cak, konsesi HTI sampai 200.000 Ha di 4 kabupaten lho hebat pisan mbok?). Jangan karena egoisme kita, hutan justru semakin rusak. Jika manusia Indonesia ini kita ajak untuk menanam pohon yang lama panennya, diajak menyelamatkan Harimau atau Gajah yang kulit dan gadingnya jutaan rupiah, susah. Mau tahu apa sebabnya? Karena perut mereka lapar, mereka perlu gantungan hidup. Jika mereka sudah ada gantungan hidup mereka tidak bakalan mengganggu lahan kehutanan bahkan Taman Nasional sekalipun. Jadi yang namanya Zona Penyangga itu ya Sawit atau Karet yang bisa diambil hasilnya oleh masyarakat sekitar.

Cara keempat berhematlah dalam bidang anggaran. Kurangi proyek-proyek yang tidak perlu (tur kadang-kadang wagu). Pergunakan setiap rupiah dengan bijak untuk kepentingan masyarakat sekitar hutan. Proyek yang sifatnya copy paste dikurangi bahkan dihilangkan samasekali (kegowo jaman kuliah copy paste laporan Cak, weleh-weleh). Terakhir khusus untuk hewan-hewan, silahkan ditangkarkan, jual jadi Hasil Hutan Non Kayu (HHNK). Cara paling jitu untuk mencegah kepunahan adalah dengan menangkarkan menternak mengembangbiakan dan menjualnya sebagai komoditi. Kambing dan Sapi bertahan sejak jaman purba dengan cara itu.

Nah bagi yang No Agroforestry, No HTI, No Sawit, No Karet, No Penangkaran. Ya udahlah anggap saja orang bingung milih celana terus tidak pakai celana (wudo Cak! Walah-walah jadi kelingan Miyabi). Semoga diterima di sisi-Nya segala amal baiknya, matur suwun.


3 comments

sip Pak .. mestinya memang seperti yang Bapak bilang, tapi yang berwenang itu bagaimana yaaa kebijakannnya???

Saya rasa penunjukan menteri sangat kental unsur politiknya..

@Nia: kadang dengan ego sektoral-nya kehutanan seolah tidak mau mengalah dan seolah menjadi satu2nya departemen penjaga lingkungan ini yg salah kaprah
@Arsyil: memang kesan bagi-baginya masih ada Mas


EmoticonEmoticon