TERDAPAT lapak sederhana berjejer di gang masuk sebelah utara Pasar Indrasari, Kota Pangkalan Bun, Kalteng. Lapak itu sederhana saja. Sebuah kotak kayu dengan lebar 50 cm dan tingginya 70 cm. Di atasnya terdapat berbagai benda mulai dari gulungan benang, tumpukan tapak sepatu, tang dan jarum bergagang kayu. Kotak itu sekaligus berfungsi sebagai meja kerja. Sebuah terpal berwarna biru dipasang sebagai atap pelindung dari teriknya matahari.
Seorang laki-laki paruh baya tampak sedang duduk di kursi kayu di belakang meja. Kedua lututnya mengapit sebuah sepatu rusak dan jari-jarinya lincah menjahit, membuat simpul benang dan menariknya sehingga menjadi jalinan yang kuat.
"Sudah dua belas tahun saya menjadi tukang sol sepatu di Pangkalan Bun,"kata Farhan, salah seorang pemilik lapak yang merupakan tukang sol paling awal di Kobar. Pria kelahiran Sukoharjo ini mengaku telah lama menggeluti pekerjaan ini. Sebelumnya, ia mangkal di komplek Pasar Indra Kencana. Kala itu, Pangkalan Bun hanyalah kota kecil. Sebagian jalanan belum di aspal. Termasuk jalan di depan lapaknya, masih berupa jalan tanah berdebu kala itu. Farhan kemudian pindah ke Pasar Indrasari, lokasi yang kini ia tempati.
Seorang laki-laki paruh baya tampak sedang duduk di kursi kayu di belakang meja. Kedua lututnya mengapit sebuah sepatu rusak dan jari-jarinya lincah menjahit, membuat simpul benang dan menariknya sehingga menjadi jalinan yang kuat.
"Sudah dua belas tahun saya menjadi tukang sol sepatu di Pangkalan Bun,"kata Farhan, salah seorang pemilik lapak yang merupakan tukang sol paling awal di Kobar. Pria kelahiran Sukoharjo ini mengaku telah lama menggeluti pekerjaan ini. Sebelumnya, ia mangkal di komplek Pasar Indra Kencana. Kala itu, Pangkalan Bun hanyalah kota kecil. Sebagian jalanan belum di aspal. Termasuk jalan di depan lapaknya, masih berupa jalan tanah berdebu kala itu. Farhan kemudian pindah ke Pasar Indrasari, lokasi yang kini ia tempati.
Sutrisno, salah satu tukang sol di deretan
Gang Pasar Indrasari Pangkalan Bun,
sedang bekerja ditunggui pelanggan setianya
Ia mengakui hasil dari jasa menjahit sepatu tidak seberapa. Ia mendapatkan hasil lebih tatkala ada penggantian tapak sepatu yang rusak. Pasalnya, selain jasa menjahit, tukang sol mendapatkan laba dari penjualan tapak penggantinya. "Dibuat sedang ya lima puluh ribu sehari, kadang seharian tidak dapat samasekali juga pernah."
Meski begitu, lanjut dia, ia dan rekan-rekannya tetap menggeluti pekerjaan ini. Sol sepatu merupakan pekerjaan yang mengandalkan keahlian. Sehingga tidak akan mungkin habis digilas jaman. Selain itu, pelanggan juga mempunyai sifat yang unik. Jika puas dengan pekerjaan yang dilakukan satu orang tukang sol, pelanggan akan seterusnya menyerahkan masalah perbaikan sepatu miliknya kepada tukang sol yang bersangkutan. Imbasnya, meski terdapat enam lapak di gang itu, tidak ada yang kekurangan pelanggan. Setiap lapak telah mempunyai pelanggan masing-masing. Tak heran, banyak yang masih menekuni pekerjaan ini bahkan sampai diturunkan ke generasi berikutnya. "Lapak yang paling ujung dekat jalan raya itu dulu milik Bapaknya, sudah meninggal, sekarang digantikan anaknya. Jadi turun temurun,"kata dia.
Menurut Farhan, semua pekerjaan jika didasari rasa ikhlas dan pasrah kepada Allah akan menghasilkan rejeki dari jalan yang tidak disangka-sangka. Ia mempunyai analogi yang unik. Menjadi tukang sol sepatu itu seperti anak sekolah, jika mendapatkan hasil yang banyak berarti mendapatkan nilai yang bagus. Sebaliknya apabila penghasilan kurang berarti nilainya jelek mesti introspeksi, rasa syukurnya harus ditambah. "Segala sesuatu kalau disyukuri <>ndilalah<> ya ada saja rejeki itu,"tukas dia.
EmoticonEmoticon