Mengamati perkembangan isu mengenai Sawit Vs Kehutanan memang unik, mengasyikkan dan dari waktu ke waktu semakin seru saja. Terutama saat mulai dibahasnya isu Rencana Tata Ruang Wilaya Propinsi (RTRWP) Kalteng dan Riau. Banyak ulasan baik di media cetak maupun media elektronik yang menggambarkan betapa jahatnya Sawit dan betapa sucinya Kehutanan atas nama lingkungan hidup (waduh...waduh tingkat tinggi iki Cak!). Apakah benar sejahat itu? Apa pernah ditanyakan kepada masyarakat secara langsung?
Kehutanan sebagai penguasa lahan terbesar di Indonesia sampai saat ini tidak pernah memberikan dampak ekonomi secara nyata kepada masyarakat dalam skala komunitas yang besar (jangankan masyarakat Cak! S.Hut banyak kleleran kerja nggak karuan). Jika saya salah (dan saya berharap seperti itu karena saya masih mempunyai ijazah S.Hut) kemungkinan kurangnya publikasi kepada masyarakat termasuk saya. Mengapa Sawit, Karet, Kopi, dan Kakao lebih disukai masyarakat? Jika jawabannya jangka waktunya ‘pendek’ alias lekas panen, itu salah besar. Jawabannya justru “Rantai Produksinya Jelas!”.
Jika saya menanam Sawit, Karet, Kakao, Kopi maka akan ada dari Dinas Pertanian yang datang menggunakan motor trail hijau-nya memberikan penyuluhan bagaimana cara menanam? Cara merawat? Jika sudah panen dijual kemana? Semuanya tertata rapi. Banyak unit-unit usaha swasta yang membeli produk-produk tersebut (meskipun kadang-kadang masyarakat juga mengganggunya terutama perkebunan sawit). Hal inilah dasar berapa kali saya katakan (nek bolak balik yo koyo wirid-an Cak!) bahwa KUNCI utama melestarikan hutan adalah HUTAN harus berdampak EKONOMI secara langsung kepada RAKYAT. Sehingga rakyat akan bersemangat menanam tanaman KEHUTANAN sebagaimana semangatnya mereka menanam SAWIT, KARET, KAKAO dan KOPI titik tidak pakai koma.
Untuk lebih afdhol-nya saya ingin menguraikan beberapa hal untuk perenungan kita bersama (monggo silahkan, tafadhol Romo Kyai):
Pertamax
Buatlah sistem Agroforestry, tanamlah tanaman semusim (yang bernilai ekonomi tinggi, sawit kalau perlu! Tenang Cak ojo osmosis disik!) di sela-sela tanaman kehutanan (hayo munio! Apa tanaman kehutanan? Karet katanya bukan, malah mau nanam AREN, aneh khan? Anak TK saja tahu kalau AREN lebih mirip SAWIT dan KARET lebih mirip JATI). Tanam Jati, Sengon, Akasia, dll dengan jarak 5 x 5 meter supaya di bawahnya bisa ditanami Jahe, Kapulogo, Kunir, Temulawak, iles-iles, dkk. Tanaman kerasnya ditunggu sampai panen dan tanaman bawahnya yang dijual untuk keperluas sehari-hari.
Kedua
Aktifkan penyuluh kehutanan untuk ke desa-desa. Selama ini sangat nyata terlihat staff di Dinas Kehutanan seperti kehilangan arah mau bekerja apa. Kalau di luar Jawa karena gabung dengan perkebunan masih lumayan mereka mengurusi perkebunan (atau kapling lahan masing-masing Cak! Weleh2). Masyarakat harus didampingi, buat masyarakat percontohan (pilot project) supaya bisa dicontoh masyarakat lain.
Ketiga
Buat rantai produksi yang jelas, kerjasama dengan pihak swasta. Kalau kayu, di Jepara banyak tuh pengrajin yang kekurangan bahan baku kayu. Di Bobung Gunung Kidul juga banyak mau nampung kayunya. Untuk tanaman bawahnya selama itu empon-empon gampang saja tinggal kontak Sido Muncul. Saya tahu betul bahwa pabrikan ini sangat konsen pada pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari program CSR-nya. Untuk pabrikan lain saya tidak tahu.
Keempat
Semua program kehutanan harus mempunyai dampak EKONOMI secara LANGSUNG kepada masyarakat. Jangan hanya lingkungan dikoar-koarkan kesana kemari. Masyarakat hanya paham jika ada HASIL (dibaca DUIT Cak!). Jika menanam bakau ajaklah kelompok tani nelayan, buat tambak alam. Buat kotak-kotak dengan ukuran tertentu (mirip persawahan) dan di pematangnya ditanam bakau. Beri pintu langsung dengan laut. Ikan-ikan pada datang kesitu jadi kalau musim angin ribut tidak bingun nelayannya bisa manen ikan disitu. Jika lautnya ribut ikan-ikan mencari perlindungan di akar-akar bakau. Biasanya bareng dengan siklus bertelur mereka. Ini hanya salah satu contoh dan banyak lagi yang lainnya.
Kelima
Hentikan perdebatan dan polemik yang naif. Misal sudah ada REDD dan Carbon Trade masih mikir “kita bakal jadi tempat sampah dari negara maju.” Tapi jika itu salah satu cara efektif untuk menyelamatkan hutan ya lakukan! (ora mik mbacot wae, ditakoni solusi yo ora nduwe solusi Cuk!). Segera dimulai program tsb supaya masyarakat menjaga hutan itu ada imbal baliknya. Sekarang ini aneh, para aktivis lingkungan dan punggawa negara di bidang kehutanan menyerukan menjaga hutan tapi orang-orang pedalaman tidak dipikirkan. Mereka pengen juga menonton TV, mengakses informasi, pendidikan, taraf hidup yang lebih baik. Mereka bercancut, koteka, dll sementara aktivisnya datang bawa lap top, HP, dll. Mereka perlu sekolah juga, perlu listrik, masukkan sekolah dan listrik ke pedalaman. Pakai listrik mikrohidro juga tidak apa-apa.
Ada lagi yang SOK suci mau menyelamatkan satwa dengan mengharamkan satwa, kok aneh? (Haramkan juga JAGUNG, PADI, SAYUR dll karena mereka ditanam di lahan yang sebelumnya hutan wekekek). Kalau saya mau menyelamatkan satwa ya ditangkarkan dikembangbiakkan sebagian dilepas di alam sebagian DIJUAL untuk ongkos pemeliharaannya. Gampang khan? Ini KUNCI jawaban mengapa AYAM, SAPI, dan KERBAU tidak PUNAH sampai sekarang (Wah aku lupa Cak! Itu hewan yang masuk golongan PETERNAKAN lain KEHUTANAN Ha3x lucu banget hewan ada golongan kastanya juga. Ya kalau di KEHUTANAN namanya BANTENG kalau di PETERNAKAN namanya KERBAU. Oh gitu ya? Okeh2 manut wae).
Mau menyelamatkan harimau? Nanti saya kasih tahu harga kulit harimau, taring, dll Jika masyarakat sekitarnya masih miskin mau diselamatkan kayak apa juga diburu. Konon Presiden Ronald Reagan saat berkunjung ke Bali (29 April-2 Mei 1986) dihadiahi oleh Presiden Soeharto sepasang Burung Jalak Bali. Jalak Bali itu dikembangkan secara besar-besaran di USA dan pada akhirnya saat Jalak Bali hampir punah di habitat aslinya, Kita membeli burung kita sendiri dari USA. Lucu khan? Makanya jangan makan mentah-mentah ocehan Lembaga Donor. Mari kita pakai cara kita sendiri, lolos dari jajahan Belanda, masuk dijajah Lembaga Donor (kacian dech Lu!)
Aktivis marah masyarakat menyerahkan HUTAN-nya untuk plasma sawit. Tapi dengan itu anak-anaknya bisa kuliah? Sementara menuruti kemauan Aktivis untuk mempertahankan kearifan lokal (baca: keterbelakangan) untuk di FOTO, di TULIS menjadi PROPOSAL dan dijual ke LEMBAGA DONOR. Kejam mana? Yang paling tidak kejam adalah menjadikan HUTAN mempunyai dampak EKONOMI secara LANGSUNG kepada MASYARAKAT entah melalui CARBON TRADE, AGROFORESTRY, WISATA ALAM, dll yang penting UUD (Ujung-Ujungnya DUIT). Asal bisa menghasilkan DUIT pasti masyarakat IKUTTTTTTT...........wis gek tangi aja ngimpi suwe2....
Kehutanan sebagai penguasa lahan terbesar di Indonesia sampai saat ini tidak pernah memberikan dampak ekonomi secara nyata kepada masyarakat dalam skala komunitas yang besar (jangankan masyarakat Cak! S.Hut banyak kleleran kerja nggak karuan). Jika saya salah (dan saya berharap seperti itu karena saya masih mempunyai ijazah S.Hut) kemungkinan kurangnya publikasi kepada masyarakat termasuk saya. Mengapa Sawit, Karet, Kopi, dan Kakao lebih disukai masyarakat? Jika jawabannya jangka waktunya ‘pendek’ alias lekas panen, itu salah besar. Jawabannya justru “Rantai Produksinya Jelas!”.
Jika saya menanam Sawit, Karet, Kakao, Kopi maka akan ada dari Dinas Pertanian yang datang menggunakan motor trail hijau-nya memberikan penyuluhan bagaimana cara menanam? Cara merawat? Jika sudah panen dijual kemana? Semuanya tertata rapi. Banyak unit-unit usaha swasta yang membeli produk-produk tersebut (meskipun kadang-kadang masyarakat juga mengganggunya terutama perkebunan sawit). Hal inilah dasar berapa kali saya katakan (nek bolak balik yo koyo wirid-an Cak!) bahwa KUNCI utama melestarikan hutan adalah HUTAN harus berdampak EKONOMI secara langsung kepada RAKYAT. Sehingga rakyat akan bersemangat menanam tanaman KEHUTANAN sebagaimana semangatnya mereka menanam SAWIT, KARET, KAKAO dan KOPI titik tidak pakai koma.
Untuk lebih afdhol-nya saya ingin menguraikan beberapa hal untuk perenungan kita bersama (monggo silahkan, tafadhol Romo Kyai):
Pertamax
Buatlah sistem Agroforestry, tanamlah tanaman semusim (yang bernilai ekonomi tinggi, sawit kalau perlu! Tenang Cak ojo osmosis disik!) di sela-sela tanaman kehutanan (hayo munio! Apa tanaman kehutanan? Karet katanya bukan, malah mau nanam AREN, aneh khan? Anak TK saja tahu kalau AREN lebih mirip SAWIT dan KARET lebih mirip JATI). Tanam Jati, Sengon, Akasia, dll dengan jarak 5 x 5 meter supaya di bawahnya bisa ditanami Jahe, Kapulogo, Kunir, Temulawak, iles-iles, dkk. Tanaman kerasnya ditunggu sampai panen dan tanaman bawahnya yang dijual untuk keperluas sehari-hari.
Kedua
Aktifkan penyuluh kehutanan untuk ke desa-desa. Selama ini sangat nyata terlihat staff di Dinas Kehutanan seperti kehilangan arah mau bekerja apa. Kalau di luar Jawa karena gabung dengan perkebunan masih lumayan mereka mengurusi perkebunan (atau kapling lahan masing-masing Cak! Weleh2). Masyarakat harus didampingi, buat masyarakat percontohan (pilot project) supaya bisa dicontoh masyarakat lain.
Ketiga
Buat rantai produksi yang jelas, kerjasama dengan pihak swasta. Kalau kayu, di Jepara banyak tuh pengrajin yang kekurangan bahan baku kayu. Di Bobung Gunung Kidul juga banyak mau nampung kayunya. Untuk tanaman bawahnya selama itu empon-empon gampang saja tinggal kontak Sido Muncul. Saya tahu betul bahwa pabrikan ini sangat konsen pada pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari program CSR-nya. Untuk pabrikan lain saya tidak tahu.
Keempat
Semua program kehutanan harus mempunyai dampak EKONOMI secara LANGSUNG kepada masyarakat. Jangan hanya lingkungan dikoar-koarkan kesana kemari. Masyarakat hanya paham jika ada HASIL (dibaca DUIT Cak!). Jika menanam bakau ajaklah kelompok tani nelayan, buat tambak alam. Buat kotak-kotak dengan ukuran tertentu (mirip persawahan) dan di pematangnya ditanam bakau. Beri pintu langsung dengan laut. Ikan-ikan pada datang kesitu jadi kalau musim angin ribut tidak bingun nelayannya bisa manen ikan disitu. Jika lautnya ribut ikan-ikan mencari perlindungan di akar-akar bakau. Biasanya bareng dengan siklus bertelur mereka. Ini hanya salah satu contoh dan banyak lagi yang lainnya.
Kelima
Hentikan perdebatan dan polemik yang naif. Misal sudah ada REDD dan Carbon Trade masih mikir “kita bakal jadi tempat sampah dari negara maju.” Tapi jika itu salah satu cara efektif untuk menyelamatkan hutan ya lakukan! (ora mik mbacot wae, ditakoni solusi yo ora nduwe solusi Cuk!). Segera dimulai program tsb supaya masyarakat menjaga hutan itu ada imbal baliknya. Sekarang ini aneh, para aktivis lingkungan dan punggawa negara di bidang kehutanan menyerukan menjaga hutan tapi orang-orang pedalaman tidak dipikirkan. Mereka pengen juga menonton TV, mengakses informasi, pendidikan, taraf hidup yang lebih baik. Mereka bercancut, koteka, dll sementara aktivisnya datang bawa lap top, HP, dll. Mereka perlu sekolah juga, perlu listrik, masukkan sekolah dan listrik ke pedalaman. Pakai listrik mikrohidro juga tidak apa-apa.
Ada lagi yang SOK suci mau menyelamatkan satwa dengan mengharamkan satwa, kok aneh? (Haramkan juga JAGUNG, PADI, SAYUR dll karena mereka ditanam di lahan yang sebelumnya hutan wekekek). Kalau saya mau menyelamatkan satwa ya ditangkarkan dikembangbiakkan sebagian dilepas di alam sebagian DIJUAL untuk ongkos pemeliharaannya. Gampang khan? Ini KUNCI jawaban mengapa AYAM, SAPI, dan KERBAU tidak PUNAH sampai sekarang (Wah aku lupa Cak! Itu hewan yang masuk golongan PETERNAKAN lain KEHUTANAN Ha3x lucu banget hewan ada golongan kastanya juga. Ya kalau di KEHUTANAN namanya BANTENG kalau di PETERNAKAN namanya KERBAU. Oh gitu ya? Okeh2 manut wae).
Mau menyelamatkan harimau? Nanti saya kasih tahu harga kulit harimau, taring, dll Jika masyarakat sekitarnya masih miskin mau diselamatkan kayak apa juga diburu. Konon Presiden Ronald Reagan saat berkunjung ke Bali (29 April-2 Mei 1986) dihadiahi oleh Presiden Soeharto sepasang Burung Jalak Bali. Jalak Bali itu dikembangkan secara besar-besaran di USA dan pada akhirnya saat Jalak Bali hampir punah di habitat aslinya, Kita membeli burung kita sendiri dari USA. Lucu khan? Makanya jangan makan mentah-mentah ocehan Lembaga Donor. Mari kita pakai cara kita sendiri, lolos dari jajahan Belanda, masuk dijajah Lembaga Donor (kacian dech Lu!)
Aktivis marah masyarakat menyerahkan HUTAN-nya untuk plasma sawit. Tapi dengan itu anak-anaknya bisa kuliah? Sementara menuruti kemauan Aktivis untuk mempertahankan kearifan lokal (baca: keterbelakangan) untuk di FOTO, di TULIS menjadi PROPOSAL dan dijual ke LEMBAGA DONOR. Kejam mana? Yang paling tidak kejam adalah menjadikan HUTAN mempunyai dampak EKONOMI secara LANGSUNG kepada MASYARAKAT entah melalui CARBON TRADE, AGROFORESTRY, WISATA ALAM, dll yang penting UUD (Ujung-Ujungnya DUIT). Asal bisa menghasilkan DUIT pasti masyarakat IKUTTTTTTT...........wis gek tangi aja ngimpi suwe2....
2 comments
wakakak.....ada betulnya juga....yg penting duit mengalir buat rakyat, tapi hutan tetap lestari...
bener Gan, sampai sekarang orang2 masih pada mimpi sich jadi ya susah mau ngapa2in soalnya semuanya nggak nyata Gan :hammer bayangin aja, kita ga boleh ngapa2in, buat HTI ga boleh, LSM nya yang utak atik siapa sich? dana darimana? eh ternyata ada kompetitor dari negara maju yang bikin di Brazil? :ngakak
EmoticonEmoticon