Saya mendapatkan email dari salah seorang pembaca setia Gudang Tutorial. Di daerah kabupaten tempat beliau tinggal saat ini, ada sebuah fenomena unik yang saya temui. Kelompok Tani selama ini saya kenal sebagai kumpulan orang-orang yang bersahaja, pekerja keras, dan penuh sifat gotong royong. Hal itu boleh jadi benar karena saya melihat secara langsung Kelompok Tani di Jawa mulai dari Kulon Progo, Gunung Kidul, Bantul dll.
Di Lamandau, sebuah Kabupaten baru hasil pemekaran Kabupaten Kotawaringin Barat (Pangkalan Bun) fenomena unik ini terjadi. Di sini muncul kelompok-kelompok tani yang lumayan banyak dari segi penguasaan lahan. Kebanyakan mereka melakukan klaim di atas 100 Ha. Kelompok-kelompok ini sangat meresahkan karena kebanyakan lahan-lahan mereka berada di atas ijin orang lain bahkan kadang lahan transmigrasi pun tak luput dari klaim mereka. Kaum transmigran yang banyak mengalah ini akhirnya banyak menjadi korban karena lahan mereka yang telah menjadi plasma di klaim oleh kelompok-kelompok semacam ini.
Jika ditelaah lebih jauh, nama kelompok tani mungkin bisa berbeda-beda namun aktor di dalamnya itu-itu saja. Hal ini cukup mengherankan karena mereka justru dibela oknum tertentu mengatasnamakan rakyat (sing gawene muni rakyat sopo? Hanya beberapa golongan to, silahkan ditebak sendiri he3x). Padahal selain warga pribadi ada juga beberapa perusahaan yang “diganggu” oleh kelompok-kelompok tani ini mempekerjakan banyak buruh. Kaum buruh ini tidak hanya diisi oleh buruh migran dari luar Kalimantan namun justru didominasi dari putra daerah. Orang Jawa, Sunda, Bugis dan Flores yang bekerja sebagai buruh kebanyakan adalah penduduk transmigran yang sudah 10 - 15 tahun tinggal di Lamandau bahkan ada yang lahir dan tumbuh dewasa di Lamandau sehingga bisa dibilang pribumi asli.
Apabila hal ini dibiarkan, pada akhirnya jika kaum buruh yang jumlahnya juga tidak sedikit bisa mengangkat senjata (tinggal menunggu LSM Buruh masuk berkecimpung di dalamnya). Kita bisa bayangkan jika ada beberapa KK yang bekerja dan kemudian dengan tiba-tiba karena klaim yang tidak jelas dihentikan aktivitas kerjanya. Padahal dengan pekerjaan inilah dia menghidupi keluarganya dan mengirim uang untuk anak istrinya bagi perantau. Tindakan nekad ini bisa saja terjadi karena mereka menganggap diri mereka kaum buruh yang rajin bekerja, mengeluarkan keringat untuk sesuap nasi, dan dikalahkan hanya oleh sekumpulan kaum pemalas yang hendak mencari uang dengan jalan pintas.
Dua Matahari dalam Satu Dunia
Hal ini buntut dari tumpang tindih kewenangan yang banyak terjadi antara Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Departemen Kehutanan. Parahnya, di lapangan kadang-kadang kelompok tani ini mengatasnamakan dinas kehutanan dan perkebunan setempat. Padahal setelah dilakukan penyidikan ternyata tidak pernah ada satu pun instansi yang menerbitkan ijin penguasaan lahan kepada kelompok tersebut.
Upaya penertiban dan penataan batas yang jelas antar desa bahkan antar Kabupaten harus segera dilakukan. Penegakan hukum harus dilakukan tanpa tebang pilih. Persoalan utama pada kabupaten pemekaran adalah mereka masih dalam taraf berbenah untuk menjadi kabupaten sesungguhnya setelah terlepas dari kabupaten induk. Mereka ingin membuktikan dengan adanya kabupaten masyarakat bisa lebih sejahtera. Sehingga terkadang setiap tuntutan masyarakatnya dipenuhi dengan serta merta tanpa mempertimbangkan aspek hukum yang ada.
Satu orang bisa menguasai lahan lebih dari 20 Hektar itu sudah menggelikan sekali. Bahkan dengan sistem perladangan berpindah sekali pun. Menurut fakta penelitian, satu orang hanya mampu membuat 2 Hektar lahan dalam satu tahun, sehingga asumsi rata-rata usia produktif untuk membuka hutan antara 15 tahun sampai 25 tahun. Jadi ada jangka waktu 10 tahun berladang sehingga kepemilikan rata-rata secara ilmiah itu adalah 20 Hektar. Lebih dari itu, pasti dia melakukan klaim. Klaim ini bisa klaim positif atas dasar warisan, hibah, jual beli dll juga klaim negatif yang asal matok lahan. Tampaknya pemerintah setempat tidak pernah melakukan tindakan tegas yang disertai edukasi kepada warganya, mengenai penguasaan lahan ini.
Di Lamandau, sebuah Kabupaten baru hasil pemekaran Kabupaten Kotawaringin Barat (Pangkalan Bun) fenomena unik ini terjadi. Di sini muncul kelompok-kelompok tani yang lumayan banyak dari segi penguasaan lahan. Kebanyakan mereka melakukan klaim di atas 100 Ha. Kelompok-kelompok ini sangat meresahkan karena kebanyakan lahan-lahan mereka berada di atas ijin orang lain bahkan kadang lahan transmigrasi pun tak luput dari klaim mereka. Kaum transmigran yang banyak mengalah ini akhirnya banyak menjadi korban karena lahan mereka yang telah menjadi plasma di klaim oleh kelompok-kelompok semacam ini.
Jika ditelaah lebih jauh, nama kelompok tani mungkin bisa berbeda-beda namun aktor di dalamnya itu-itu saja. Hal ini cukup mengherankan karena mereka justru dibela oknum tertentu mengatasnamakan rakyat (sing gawene muni rakyat sopo? Hanya beberapa golongan to, silahkan ditebak sendiri he3x). Padahal selain warga pribadi ada juga beberapa perusahaan yang “diganggu” oleh kelompok-kelompok tani ini mempekerjakan banyak buruh. Kaum buruh ini tidak hanya diisi oleh buruh migran dari luar Kalimantan namun justru didominasi dari putra daerah. Orang Jawa, Sunda, Bugis dan Flores yang bekerja sebagai buruh kebanyakan adalah penduduk transmigran yang sudah 10 - 15 tahun tinggal di Lamandau bahkan ada yang lahir dan tumbuh dewasa di Lamandau sehingga bisa dibilang pribumi asli.
Apabila hal ini dibiarkan, pada akhirnya jika kaum buruh yang jumlahnya juga tidak sedikit bisa mengangkat senjata (tinggal menunggu LSM Buruh masuk berkecimpung di dalamnya). Kita bisa bayangkan jika ada beberapa KK yang bekerja dan kemudian dengan tiba-tiba karena klaim yang tidak jelas dihentikan aktivitas kerjanya. Padahal dengan pekerjaan inilah dia menghidupi keluarganya dan mengirim uang untuk anak istrinya bagi perantau. Tindakan nekad ini bisa saja terjadi karena mereka menganggap diri mereka kaum buruh yang rajin bekerja, mengeluarkan keringat untuk sesuap nasi, dan dikalahkan hanya oleh sekumpulan kaum pemalas yang hendak mencari uang dengan jalan pintas.
Dua Matahari dalam Satu Dunia
Hal ini buntut dari tumpang tindih kewenangan yang banyak terjadi antara Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Departemen Kehutanan. Parahnya, di lapangan kadang-kadang kelompok tani ini mengatasnamakan dinas kehutanan dan perkebunan setempat. Padahal setelah dilakukan penyidikan ternyata tidak pernah ada satu pun instansi yang menerbitkan ijin penguasaan lahan kepada kelompok tersebut.
Upaya penertiban dan penataan batas yang jelas antar desa bahkan antar Kabupaten harus segera dilakukan. Penegakan hukum harus dilakukan tanpa tebang pilih. Persoalan utama pada kabupaten pemekaran adalah mereka masih dalam taraf berbenah untuk menjadi kabupaten sesungguhnya setelah terlepas dari kabupaten induk. Mereka ingin membuktikan dengan adanya kabupaten masyarakat bisa lebih sejahtera. Sehingga terkadang setiap tuntutan masyarakatnya dipenuhi dengan serta merta tanpa mempertimbangkan aspek hukum yang ada.
Satu orang bisa menguasai lahan lebih dari 20 Hektar itu sudah menggelikan sekali. Bahkan dengan sistem perladangan berpindah sekali pun. Menurut fakta penelitian, satu orang hanya mampu membuat 2 Hektar lahan dalam satu tahun, sehingga asumsi rata-rata usia produktif untuk membuka hutan antara 15 tahun sampai 25 tahun. Jadi ada jangka waktu 10 tahun berladang sehingga kepemilikan rata-rata secara ilmiah itu adalah 20 Hektar. Lebih dari itu, pasti dia melakukan klaim. Klaim ini bisa klaim positif atas dasar warisan, hibah, jual beli dll juga klaim negatif yang asal matok lahan. Tampaknya pemerintah setempat tidak pernah melakukan tindakan tegas yang disertai edukasi kepada warganya, mengenai penguasaan lahan ini.
1 comments so far
wah rumit juga ya? he3x
EmoticonEmoticon