Monday, April 12, 2010

Diktat Pelatihan CPNS Departemen Kehutanan: Tiga Langkah Sederhana Untuk Mencegah Departemen Kehutanan Tidak Punah.

Saat saya menulis status di facebook “Kapan Dephut membuat kebun Gaharu Cendana....” dan banyak reaksi yang muncul. Ada teman yang mengatakan, “Kamu buat saja dahulu, nanti kalau sukses khan dilirik Dephut.” (dilirik emang Gue cowok keren apaan? Ha3x). Ini menjadi bahasan pertama. Kita semua tahu bahwa sawit, karet, kakao dll sudah lama menjadi musuh para pecinta lingkungan (sok cinta lingkungan paling Cak! Jika mereka ditanya cara sejahterakan masyarakat juga nggak punya solusi) padahal sudah nyata tiga komoditi itu telah mensejahterakan rakyat kecil di seluruh penjuru negeri (sampai truck e wong transmigran nggonku ditulisi “Tani Makmur” karena dibeli dari hasil Sawit Cak).


Departemen Pertanian tidak menunggu orang membuat kebun sendiri tapi aktif mengeluarkan ijin untuk kebun-kebun tersebut dan memantau jalannya perusahaan dari mulai tanam sampai produksinya (Walah kalau itu, Dephut juga pernah pernah Cak, gawe ijin HPH dan HPHTI habis itu konfliknya terserah anda dengan kata lain rasakan sendiri he3x). Nah, berikut ini beberapa cara supaya Departemen Kehutanan yang saya cintai tidak tamat bin punah alias musnah:

1. Pilih Menteri dari kalangan profesional kehutanan.

Hal ini mungkin saran yang sangat klasik. Namun perlu diperhatikan dengan seksama. Apakah profesional kehutanan harus S.Hut? tidak selalu. Seorang pemegang gelar S.Hut pun jika basisnya seorang politisi atau pengusaha tetap saja bukan seorang profesional karena dia akan membawa banyak kepentingan apabila menjabat (emang ono sing lepas dari kepentingan? Ga mungkin Cak!). Paling tidak jika dia seorang yang profesional murni (Dosen, LSM, pendamping masyarakat hutan dll), mereka lebih bisa diajak berdiskusi dan mempunyai ilmu yang berbasis dari pengalaman di lapangan.

2. Pilih komoditas yang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Dephut sampai saat ini lebih senang mengurusi Acacia dan Eucalypthus (daripada mencari alternatif lain) yang secara komoditas pulp memang bersaing di dunia internasional namun untuk masyarakat nol besar. Permasalahan utama dalam dunia HTI di Indonesia adalah jenis yang ditanam jika di plasma-kan (biasanya bentuk HTR, PHBM, dll) minim sekali bisa dibilang hampir tidak ada untungnya bagi masyarakat. Jika dibandingkan dengan menanam tanaman semusim (singkong atau padi) saja mungkin lebih untung menanam tanaman semusim. Hal ini wajar karena jenis tanaman HTI itu harus diusahakan secara masal baru menguntungkan dan perlu jangka waktu relatif lama 5-7 tahun (dadi sing iso mik wong bermodal besar Rek! Koyo dapurmu rak iso!).


Apakah sampai disini saja kisah HTI? Tentu tidak. Bagi praktisi CSR seperti saya. Membuat masyarakat sejahtera dari HTI bukan hal mustahil. Bisa saja mengelola HTI, tapi buatlah buffer di desa-desa ring satu. Tanamkan karet (atau sawit sekalian) setiap 2 Ha/KK di semua desa di ring satu HTI anda. Pasti akan aman dan perusahaan HTI anda semakin kaya. Bayangkan saja, kita buat perjanjian bahwa hasil karet (atau sawit) yang disadap harus dijual ke Koperasi Karyawan HTI. Hasilnya karyawan perusahaan anda sejahtera, masyarakat sekitar sejahtera, konflik bisa ditekan dan satu hal yang penting, Industri kehutanan bisa juga ya memberikan kesejahteraan ke masyarakat (tidak hanya perkebunan). Indah sekali bukan? Ditambahkan program CSR lain juga lebih bagus lagi. Bidang pendidikan, kesehatan, UMKM (nek mumet, bisa undang saya. Walah terakhir e promosi Cak! He3x).


Selain itu ada cara lain, buat jarak tanam lebih lebar untuk kawasan HTI yang dekat dengan pemukiman. Tawarkan kepada mereka untuk menanam tanaman semusim diantara akasia tersebut sampai usia dua tahun biasanya masih bisa. Jika mungkin tertarik, tanami lahan mereka dengan akasia pola tumpang sari dengan Jagung (aku wis melakukan di Kal-Sel bisa dilihat buktinya). Opsi kedua, lahan dibagi, misal punya 5 Ha, tanam akasianya di 4 Ha yang 1 Ha tanami cabe, jagung, dll. Tanaman akasia yang 4 Ha juga bisa diberi tanaman sela Nilam, Jahe, Temulawak dll (makane wong HTI nek micek motone mik ndlujur wae yo hancur HTI-ne).


Selama ini rimbawan selalu bersembunyi di balik isu lingkungan untuk bisa memperbaiki hutannya. Seolah-olah hanya lingkungan satu-satunya alasan supaya kita ini melestarikan hutan. Naif sekali bukan? Ketika seorang bertanya kepada suku pedalaman, mengapa anda mengijinkan tambang dan kebun masuk ke wilayah desa anda? Karena pohon tidak menjawab kebutuhan kami, kami perlu makan, perlu pendidikan, perlu listrik seperti di Desa Transmigrasi. Banyak faktor. Jadi LSM dan segala aktivis yang mengatakan masyarakat pedalaman sangat mencintai hutan sebagai bagian hidup mereka itu hanyalah bualan saja, Mereka seperti itu tatkala belum terjadi evolusi. Saat ini informasi telah banyak masuk. Dulu mereka bisa hidup dengan ladang berpindah. Asal lumbung padi penuh, lauk dari memancing atau berburu (bagi mereka yang namanya duit saat itu nggak penting Cak, hebat to?). Tapi para aktivis itu tidak berpikir. Mereka juga menginginkan kesejahteraan seperti yang mereka saksikan di sekitar mereka.

Kita (kalau saya masih boleh mengaku orang kehutanan lho he3x) selama ini hanya menuntut masyarakat untuk membiarkan hutannya rimbun belantara namun kita tidak memberi solusi mengenai listrik mereka, pendidikan mereka, penghasilan mereka. Mereka dibiarkan berhenti pada satu rantai evolusi “berburu dan meramu” dengan ekstraksi langsung dari alam. Padahal kita paham betul bahwa hal tersebut tidak akan bisa dipertahankan. (Lucu Cak, awas lho Pak, kalau hutan ditebangi nanti banjir, longsor dll intine MATI. Lah gimana Pak? Kalau kami tidak menebang pohon tidak usah nunggu banjir dan longsor ya sudah mati duluan karena kelaparan Ha3x solusine kayak apa kiye? Dephut...3x aja turu bae Rika!)

Hal ini juga dialami hampir seluruh kawasan Taman Nasional (TN) di seantero Indonesia. Padahal kawasan TN sudah dibagi-bagi menjadi beberapa Zona. Ada yang disebut Zona Pemanfaatan, inilah Zona yang bisa dimainkan oleh rimbawan. Tanamlah karet. Pilih jenis yang mewakili “hutan”. Karet alam atau yang biasa disebut “panthung” dalam bahasa daerah. Tanam saja, ratusan hektar. Bagi menjadi beberapa kompartemen sesuai dengan jumlah desa yang ada di ring satu TN. Suruh mereka menyadap dan mengambil hasilnya. Otomatis TN akan aman, ditambah lagi jika ada pengembangan wisata alam dll.

3. Perbarui Keseluruhan Program Konservasi dan Rehabilitasi Lahan


Selama ini, Departemen Kehutanan dalam setiap program yang berbau konservasi dan reboisasi selalu mengedepankan lingkungan sebagai alasan utama. Itu benar dan sah-sah saja. Namun kondisi sosial masyarakat yang ada saat ini, semua hal tersebut menjadi sangat tidak efektif. Bagaimana cara membuat program konservasi yang efektif? Pindahkan dari alasan lingkungan ke alasan ekonomi (dadi dudu konservasi berbasis lingkungan sing ga jelas Cak! Tapi langsung konservasi berbasis duit!).


Kita ambil contoh, seorang Bapak dari NTT muncul di TV dengan kemauan keras beliau menanam bakau di sepanjang pantai pasca tsunami. Sampai dikatakan orang gila sama penduduk sekitarnya bahkan ada yang merusak. Lalu pemerintah (tentu saja melalui departemen terkait) memberikan penghargaan. Itu benar, tapi tidak tepat. Seolah kita memecah skenario Si Bapak adalah lakon utama dan masyarakat luas adalah penjahatnya. Apakah penduduk sekitarnya salah? Belum sepenuhnya, karena mereka benar-benar tidak tahu fungsi secara “ekonomi” tanaman bakau itu ada disitu. Coba jika mengikuti alur orang comdev (kayak saya ini lho he3x) buat tanaman bakau dikotak-kotak di tepi pantai yang pada akhirnya bisa menjadi perangkap bagi ikan untuk beranak pinak di dalamnya. Tanpa modal tapi bisa mendapatkan ikan yang banyak, dipanen dengan memperhatikan sisi ekologisnya, lalu dapatlah DUIT. Siarkan itu di TV secara nasional, kabarkan di Koran, sudah pasti “tanpa disuruh” masyarakat itu akan berlomba-lomba menanam mangrove karena ada keuntungan ekonominya.


Hal ini juga terjadi di banyak tempat. Hampir semua yang namanya program GN-RHL, Indonesia Menanam, dan program lain yang berbasis nanam menanam selalu tidak jelas. Apa keuntungan saya (secara ekonomi tentu saja) menanam pohon ini? Setelah besar ditebang atau dipelihara? Jika ditebang dijual kemana? Jika dipelihara, carbon trade itu makanan apa? Gimana cara klaimnya? (kabeh sarwo ga jelas!). Memang benar, program tersebut berbasis duit tapi yang untung orang tertentu saja (rekanan pengada bibit dan konsultan yang pasti). Kita bisa bayangkan uang begitu banyaknya hanya hilang tanpa ada hasil yang nyata secara ekonomi. (kemarin ada yang bilang mau nanam Aren he3x nggak usah itu mirip sawit nanti dikira njiplak, ada Gaharu Cendana mengapa milih kok tanggung banget). Kita harus malu sama Finlandia, hutannya saat ini mungkin hanya 10% dari Indonesia tapi hasilnya bisa sepuluh kali lipat daripada hasil hutan Indonesia. Nokia konon kabarnya asal usulnya juga dari hasil hutan.


Saat ini kita sudah mengalami kemunduran yang luar biasa. Dari dapartemen turun kasta menjadi Kementrian (mirip-mirip Kementrian LH Cak! jadi pengawaine ngapain akeh-akeh? wah bakal ada banyak pemecatan dan mutasian nich) PR utama kita rimbawan yang paling utama adalah “membuat masyarakat Indonesia begitu bernafsu untuk menanam pohon seperti bernafsunya mereka menanam Sawit, Karet dan Kakao.” Sederhana bukan? Siapa pun Menterinya kalau bisa seperti itu (semua yang saya tuliskan di atas itu lho Cak!), sudahlah Hutan Indonesia bukan berkurang malah bertambah bahkan SAWAH di Jawa pun bisa jadi HUTAN.




EmoticonEmoticon