Tuesday, June 15, 2021

Persoalan Tata Ruang di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), Banyak Perkantoran Fasum Fasos Desa Masuk Kawasan Hutan

Secara yuridis Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) sudah ada sejak tahun 1957. Sejak saat itu sebenarnya persoalan-persoalan terkait tata ruang sudah muncul. Pasalnya, sebagai wilayah provinsi baru kala itu, sudah tidak bisa dihindari adanya pembangunan pemukiman, pusat pemerintahan, fasilitas umum dan fasilitas sosial.

Kemudian, pada tahun 1982, melalui Keputusan Menteri Pertanian No 759 Tahun 1982 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Kalimantan Tengah atau Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), hampir seluruh Provinsi Kalteng ditunjuk menjadi kawasan hutan. Dari total luas 15.380.000 Hektare wilayah Kalteng, Kepmen itu menunjuk 15.300.000 Hektare sebagai kawasan hutan dan menyisakan hanya 80.000 Hektare sebagai kawasan non hutan itu pun berada di wilayah perairan.

Kondisi ini tentu menimbulkan masalah di lapangan, karena banyak lokasi yang secara riil bukan kawasan hutan dimasukkan ditunjuk sebagai kawasan hutan. Pada kurun waktu antara 1994-1998 terjadi negoisasi antara daerah dan pusat tentang kawasan hutan di Provinsi Kalteng.

Proses ini yang kemudian dikenal sebagai proses paduserasi. 
Namun sayangnya, proses paduserasi ini tidak ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Kehutanan. Hanya ada penerbitan Surat Edaran No 404/Menhut-II/03 yang berisi,"Bagi setiap provinsi yang belum ada Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kembali atas kawasan hutan yang didasarkan pemaduserasian antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTWP) dan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), maka kawasan hutan pada provinsi tersebut mengacu dan berpedoman pada Keputusan Menteri Kehutanan tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK)." 

Artinya TGHK tetap tidak dicabut dan menjadi acuan sampai tahun 2011 saat terbit SK Menhut No 292 Tahun 2011 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan Seluas (plus minus) 1.168.656 Hektar, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Seluas (plus minus) 689.666 Hektar dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan (plus minus) 29.672 Hektar di Provinsi Kalimantan Tengah.
 

Meski begitu, dalam kurun waktu 1982-2011, Menteri Kehutanan (Menhut) melakukan pelepasan kawasan hutan sebesar 1.221.668 Hektare yang kemudian dikenal dengan istilah TGHK Update. Meski banyak dikritik oleh NGO lingkungan sebagai tindakan mengobral kawasan hutan, namun faktanya masih banyak kawasan yang tidak sinkron, versi TGHK itu Hutan Produksi (HP) atau Hutan Produksi yang bisa dikonversi (HPK) namun riilnya sudah menjadi bangunan perkantoran, rumah sakit, desa dll.

Pada tahun 2003, otonomi daerah memberikan angin segar sebagai upaya desentralisasi pasca reformasi. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalteng menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah atau lebih dikenal dengan Perda RTRWP Kalteng.

Masalah kembali muncul ketika TGHK dan RTRWP mempunyai perbedaan dalam hal penunjukan suatu kawasan hutan. Dalam RTRWP Kalteng tersebut terdapat banyak perubahan atas kawasan hutan menjadi Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) dan Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lainnya (KPPL) sedangkan di TGHK tetap Kawasan Hutan. Akibatnya, iklim investasi di Kalteng sempat terhambat karena adanya perbedaan antara TGHK dengan RTRWP Kalteng. Namun izin-izin yang dikeluarkan berdasarkan Perda RTRWP tetap berjalan.
 

Awal tahun 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan lima bupati dan satu pengusaha di Kalimantan Tengah atas Pasal 1 Angka 3 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Mereka, Muhammad Mawardi (Bupati Kapuas), Hambit Bintih (Bupati Gunung Mas), Duwel Rawing (Bupati Katingan), Zain Alkim (Bupati Barito Timur), Ahmad Dirman (Bupati Sukamara) dan Ahmad Taufik (seorang pengusaha) yang meminta MK mencabut frase "ditunjuk dan atau" di Pasal 1 Angka 3.

Awalnya ingin mengurangi kewenangan Pemerintah Pusat yang main tunjuk (top down) soal kawasan hutan, namun dampaknya justru menguatkan kewenangan pusat karena menegaskan peta penunjukan kawasan hutan tidak berlaku sehingga pemanfaatan hutan harus mengacu ke Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Update versi tahun 1986. Bisa dibayangkan akibatnya, bukan sekedar yang awalnya APL kemudian menjadi HP, HPK atau HL. 

Secara riil kondisi di lapangan, lahan hutan versi 1986 yang sudah menjadi polemik sejak 1982, menimbulkan polemik lebih parah karena riilnya sudah terbit banyak izin perkebunan, pertambangan, berubah menjadi kawasan perkantoran, pemukiman dll. 

Namun Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mendinginkan suasana dengan menegaskan hal ini tidak berpengaruh pada izin lama, namun akan dijadikan acuan untuk moratorium izin yang baru. Izin lama yang sudah berjalan tetap sah. Meski bahasanya waktu itu, kembali ke TGHK 1986 dan berlaku surut.
   

Selanjutnya, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menerbitkan SK No 529/Menhut-II/2012 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Pertanian Nomor 759/KPTS/UM/10/1982 Tentang Penunjukan Areal Hutan di Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah Seluas (plus minus) 15.300.000 Hektare. 

Kementerian Kehutanan hingga nomenklatur berubah menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan beberapa SK terkait status kawasan hutan di Provinsi Kalteng dan Pemprov Kalteng mengeluarkan satu perda terkait tata ruang, seperti gambar di bawah ini:


Selain itu ada penerbitan beberapa SK yang bertujuan untuk menunda izin (moratorium) demi melindungi kawasan hutan dan kawasan konservasi yang masih tersisa, seperti beberapa SK di bawah ini:
   
Kemudian ada juga penerbitan SK Menteri KLHK yang berisi ‘perkembangan’ pengukuhan kawasan hutan di Provinsi Kalteng yang belum final sebagai bagian dari proses panjang sejak TGHK 1982, TGHK Update 1986, SK 292, SK 529 dan terakhir yang diributkan SK  6025 tahun 2017 atau secara resmi terbit sebagai Keputusan Menteri LHK Nomor: SK.6025/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/11/2017 tetang Peta Perkembangan Pengukuhan Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Tengah Sampai Dengan Tahun 2016 terbit tanggal 7 November 2017.

Saat ini, SK 6025 tersebut sudah dinyatakan ‘tidak berlaku lagi’ dengan terbitnya ‘perkembangan’ baru, yakni SK 8108 atau secara resmi terbit sebagai Keputusan Menteri LHK Nomor: SK.8108/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/11/2018 tentang Peta Perkembangan Pengukuhan Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Tengah Sampai Dengan Tahun 2017 terbit tanggal 23 Nopember 2018.
   

Penyusunan RTRWP Provinsi Kalteng masih sangat dinamis. Sehingga, TGHK maupun turunannya hingga saat ini masih terus ‘berkembang’ dan mengalami beberapa kali revisi. Artinya, TGHK beserta turunannya tidak bisa digunakan untuk ‘menghukum’ izin yang telah terbit dan berjalan. Sebab proses penerbitan izin baik perkebunan maupun pertambangan sudah melalui proses di Pemerintah Daerah baik di Tingkat I maupun Tingkat II. 

Sebelum terbit izin, Pemerintah Kabupaten/Kota telah meminta pertimbangan teknis (pertek) dari berbagai instansi termasuk instansi vertikal di daerahnya. Sehingga izin yang dikeluarkan sudah sah dan bisa dijalankan. Jika ada perubahan dan perkembangan baru, sifatnya hanya diberlakukan untuk penerbitan izin baru. 

Sehingga tidak tepat jika perusahaan dilabeli merambah hutan hanya karena surat berisi ‘perkembangan’ pengukuhan kawasan hutan di Provinsi Kalteng yang sudah menjadi polemik dari tahun 1982. Untuk lebih memudahkan logika kita, saya akan mencontohkan beberapa fakta lapangan yang dicek teman-teman ASN di bidang kehutanan seperti berikut ini:
   
   

Oleh karena itu, sangat aneh apabila sebutan ‘merambah hutan’ disematkan kepada izin yang sudah terbit secara sah melalui proses sesuai dengan peraturan yang berlaku dan ditetapkan oleh pemerintah. Saat ini, Kantor Bupati Sukamara, Mapolres Sukamara, dan Kantor Kejari Sukamara berada di Kawasan Hutan Produksi. Lalu, apakah serta merta bisa dikatakan 'merambah hutan'? Tentu tidak, mereka yang berpendapat seperti itu, jika mereka masih waras,  pasti mereka tidak memahami urutan kronologis peraturan.

Lalu apa yang terjadi? Sebenarnya secara vulgar bisa dikatakan akibat inkonsistensi status kawasan sebagai dampak terus terbitnya ‘perkembangan’ pengukuhan kawasan hutan, pemerintah merubah Status Areal Penggunaan Lain (APL) yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) menjadi areal Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi yang bisa dikonversi (HPK) bahkan Hutan Lindung (HL) dengan penerbitan SK dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Padahal baik BPN dan KLHK merupakan representasi dari pemerintah. 

Artinya, kalau istilah ‘perambahan’ disematkan, ya pemerintah merambah izin yang diterbitkannya sendiri.
   
  

Inkonsistensi yang masih terus terjadi dalam perumusan tata ruang ini, masih bisa dimaklumi karena memang masih dalam proses perkembangan dan belum pengukuhan final. Setahu saya, ada dua provinsi di Indonesia yakni Riau dan Kalteng. 

Solusinya, supaya tidak terjadi kesalahpahaman dan dimanfaatkan oknum tertentu, pemerintah harus segera finalisasi, jika belum bisa, pemerintah harus menerjunkan sebanyak mungkin Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat. Sehingga, saat disodori suatu peraturan yang dilampiri peta, mereka bisa menganalisa sebelum berkomentar. 



EmoticonEmoticon

Popular Post