Monday, December 8, 2014

Syarat Koruptor Agar Bisa Ditangkap KPK

Saya termasuk warga negara yang menaruh harapan besar pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membabat koruptor. Namun akhir-akhir ini, saya mulai galau. KPK terkesan tebang pilih dalam membabat koruptor. Semoga saja ini hanya perasaan saya saja.

KPK seolah punya tiga indikator utama, agar koruptor disikat. Saya sebutkan saja di awal, pertama tentu saja orang yang bersangkutan melakukan tindak pidana korupsi. Kedua, orang tersebut berasal dari Koalisi Merah Putih (KMP) atau koalisi pendukung Prabowo. Ketiga, orang itu harus mewakili simbol-simbol Islam. Seperti berjilbab, berkopyah dan lain sebagainya. Intinya bisa menjatuhkan Islam.

 

                                                           Gambar diambil dari mp3-kajiansalafiplg.blogspot.com

Untuk indikator pertama, tentu siapa pun sepakat saya kira, setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi harus ditangkap. Kedua, masih bisa saya maklumi, meski sebenarnya tidak patut dan semoga saja saya salah dalam hal ini. Sebab KPK harus independen, siapa pun yang melanggar harus ditangkap. Tidak perduli itu berasal dari koalisi partai penguasa mau pun dari koalisi partai penyeimbang (oposisi).

Nah, kalau yang ketiga ini? Apa urusannya? Seolah Islam harus dihancurkan citranya. Ingat, di USA pernah terjadi seperti itu pascaperistiwa WTC. Hasilnya, justru warga negara USA banyak berbondong-bondong masuk Islam. Oh ya, semoga juga saya salah dalam hal ini.

Namun beribu-ribu maaf, jika semua uneg-uneg saya ini salah, sebab kesan itu tidak bisa dihilangkan. Kecuali, KPK juga menangani kasus-kasus lain. Sehingga ada keberimbangan, tidak ada kesan seolah-olah hanya kaum berkopyah dan berjilbab yang jadi target utama untuk ditangkap.

Sebab saya kira laporan-laporan dari masyarakat yang melibatkan koruptor yang non muslim juga banyak yang masuk. Segera ditangani, tunjukkan KPK tidak tergolong Islamphobia. Lebih hebat lagi, kalau KPK bisa OTT seperti Polda Kalteng di Kabupaten Kapuas. Sebab OTT itu benar-benar tidak pandang bulu, mau partainya dari KMP atau KIH tetap disikat!

Jualan Komoditas Bernama Kemiskinan

Kemiskinan bagi sebagian orang mungkin bukan suatu masalah. Kaum sufi salah satunya. Namun bagi sebagian besar lainnya, kemiskinan merupakan suatu masalah besar. Musuh bersama dan monster menakutkan yang harus dienyahkan.

Namun sadar atau tidak, sebenarnya banyak orang-orang yang teriak kemiskinan harus dihapuskan, tapi faktanya jauh di dalam lubuk hati mereka muncul sebuah kekhawatiran. Ya, khawatir karena mereka itu 'pedagang' 'penjual' komoditas bernama kemiskinan.


                                                        karikatur diambil dari: purwoudiutomo.com

Secara garis besar, ada dua golongan yang 'biasa' jualan komoditas ini. Pertama oknum politisi untuk meraih hati para konstituennya. Kedua, oknum NGO atau LSM untuk bahan proposal ke lembaga donaturnya. Akhirnya, kemiskinan bukan dienyahkan. Justru jadi bahan retorika, kampanye, tulisan-tulisan di media massa dan bahan proposal.

Lalu bagaimana nasib si miskin? ya tetap miskin. Sebab persoalan utama di Indonesia ini sebenarnya distribusi kekayaan. Hasil bumi air Indonesia yang begitu besar, hanya dikuasai beberapa persen warga negara. Sedangkan sifat kedermawanan baik melalui charity, filantropi maupun community development masih sedikit dilakukan golongan si kaya.

Nah, jauh lebih parah lagi kalau oknum politisi dan oknum NGO yang hobi 'berdagang' ini bergabung menjadi satu. Ya, akhirnya NGO yang seharusnya mengkritisi pemerintah, justru menjadi garda depan mencari pembenaran setiap kebijakan pemerintah.Padahal kebijakan itu, tidak sepenuhnya benar. Namun seolah dipaksakan dengan pembenaran yang masif di media dengan narasumber aktivis-aktivis NGO tadi. Simbiosis mutualisme yang sangat padu.

Ya, kalau dihitung-hitung, daripada mencari lembaga donor setiap tahun. Lebih baik, punya donatur abadi meski sifat NGO-nya jadi aneh. Sebab seolah jadi tidak peduli dengan kondisi riil di masyarakat. Kaum miskin dibuai dininabobokkan dengan segala retorika, hingga mereka lupa. Perut yang lapar, harga bahan pokok yang semakin hari semakin melambung.

Pada akhirnya, si miskin tetap saja kesulitan membeli sembako karena inflasi tidak terkejar dengan pendapatan tiap bulan. Si miskin tetap saja antre berderet-deret di Kantor Pos. Hanya demi uang Rp400 ribu, padahal beban yang ditanggung akibat kenaikan BBM dua sampai tiga kali lipat nilai uang itu.

Si miskin tetap saja bingung, urusan sekolah anaknya. Ya, sekolahnya memang gratis tapi anaknya perlu uang saku, sekolah yang cukup jauh di pedalaman harus naik kelotok, tarif kelotoknya mahal karena solar naik. Bagi para penjual kemiskinan, semoga lekas sadar, bahwa kemiskinan bukan komoditas. Namun kemiskinan merupakan monster yang harus kita enyahkan bersama.

Popular Post