Saturday, February 16, 2013

Dilema Pengembangan Tanaman Pangan

PENGEMBANGAN tanaman pangan secara luas dan masif merupakan suatu hal yang sulit diwujudkan. Pasalnya, petani yang membudidayakan tanaman pangan berada dalam dilema. Hal itu diungkapkan Kepala Kantor Penyuluh Pertanian dan Ketahanan Pangan (KP2KP) Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) Abet Nego kepada Gudang Tutorial di kantornya. "Kalau produk hasil pertanian pangan harganya melonjak naik, semua orang akan teriak untuk menurunkan harga, takut terjadi inflasi."

Padahal, lanjut dia, harga naik akan berimbas pada kenaikan pendapatan petani. Namun konsepnya tidak sesederhana yang dibayangkan. Apabila cabe yang hanya memenuhi sekitar 5% saja kebutuhan sehari-hari bisa menyebabkan inflasi. Tentu beras yang menjadi makanan pokok lebih besar lagi dampaknya.
Sehingga negara merasa wajib mengontrol harga setiap komoditas tanaman pangan. Kebijakan ini yang menempatkan petani pada posisi sulit.

Ditambah lagi, banyaknya pilihan komoditas lain yang nilai harapannya lebih tinggi seperti tanaman perkebunan. Imbasnya, petani akan sulit untuk diarahkan menanam tanaman pangan. "Saya mau bilang, meski penyuluh itu setiap hari bersama petani, makan dan tidur sama-sama, selama kebijakan dari pusat masih seperti ini, sulit untuk mengembangkan tanaman pangan."

Menurut Abet,  semua itu berawal dari sebuah harapan dan keyakinan. Petani sudah mempunyai keyakinan yang kuat bahwa komoditas sawit dan karet lebih bisa menjamin kehidupan keluarganya daripada padi. Sehingga tanpa campur tangan penyuluh pun, mereka akan menanam komoditas tersebut. "Keyakinan itu seperti sebuah dogma agama, jadi kalau sudah yakinnya pada sawit dan karet, susah bagi kita untuk merubahnya. Apalagi didukung oleh fakta-fakta di lapangan dengan minimnya sarana irigasi dan tingkat resiko kegagalan panen pada tanaman pangan."

Hal senada diungkapkan, Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan (Distanak) Kotawaringin Barat (Kobar) Akhmad Yadi, pengembangan komoditas tanaman pangan seperti padi merupakan sebuah dilema. Pasalnya, beras merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi hampir seluruh rakyat Indonesia. Apabila harga naik maka pemerintah akan melakukan langkah untuk menstabilkan pasar. "Pilihannya sulit bagi petani, harga beras tidak boleh terlalu mahal karena merupakan bahan pokok. Idealnya pemerintah memang harus ikut membantu petani dalam mengakses pasar seperti di negara tetangga kita, Malaysia."

Bulog Belum Terima Instruksi Perubahan HPP Beras

BULOG Subdrive Regional III Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) belum menerima instruksi perubahan harga pembelian pemerintah (HPP) beras dari pusat. Artinya, harga masih berpatokan pada HPP lama yakni Rp6600 per kilogram. Hal itu diungkapkan Kepala Bulog Subdrive Regional III Pangkalan Bun Syarifuddin Kahab kepada Gudang Tutorial di kantornya, Jumat (8/2). "Penentuan HPP itu tergantung dari pemerintah pusat, kalau inpresnya belum ada berarti belum berubah."

Ia melanjutkan HPP tersebut tidak bisa diterapkan di Kobar. Pasalnya, harga beras di masyarakat berkisar antara Rp7500-8000 per kilogram. Ditambah lagi, beras yang dibeli Bulog harus lolos seleksi kualitas. Sebab beras tersebut akan disimpan dalam waktu lama.

Menurut Kahab, HPP tersebut tidak masalah selama mekanisme jual beli beras di masyarakat berjalan lancar. Beras hasil panen petani bisa langsung terserap konsumen. Sehingga tidak perlu dijual melewati Bulog. "Kalau di Bulog, bagusnya memang ada kepastian harga dan kepastian pembayaran, tapi ya itu harus melewati seleksi kualitas terlebih dahulu."

Ditemui terpisah Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan (Distanak) Ahmad Yadi mengungkapkan tahun ini produksi beras ditargetkan mencapai 29.500 ton gabah kering giling (GKG) dengan areal tanam seluas 10.900 hektare. Salah satu permasalahan yang dihadapi petani adalah lemahnya akses pasar. Sebab komoditas pertanian merupakan komoditas yang tidak tahan lama, memerlukan tempat penyimpanan dan panennya hampir bersamaan. "Itulah sebabnya memerlukan penyangga, dan harusnya harga belinya di atas harga pasar. Kalau di bawah, apa yang mau disangga?"

Sebelumnya, Anggota Komisi VII DPR RI Didik Salmiaji mengharapkan Bulog bisa menaikkan HPP. Sehingga beras produksi petani Kobar bisa terserap. "Saat ini, Bulog daya belinya Rp6600 mereka lepas ke pasar Rp7500, harapan kita mereka bisa membeli di atas itu, kalau bisa rata-rata di penggilingan Rp8000 dilepas ke pasar Rp9000-10000."

Sengketa Lahan Pangkalan Lima ditangani Polres Kobar

SENGKETA lahan di Jalan Pangkalan Lima-Kumai yang melibatkan Kelompok Tani Usaha Bersama (KTUB) dan Basit, seorang pengusaha memasuki babak baru. Semua pihak telah sepakat menyerahkan penanganan kasus sengketa lahan tersebut pada Kepolisian Resor (Polres) Kotawaringin Barat (Kobar).

Hal itu terungkap pada pertemuan mediasi yang dilaksanakan di Aula Pemkab Kobar, Rabu (6/2). Hadir dalam pertemuan tersebut Bupati Kobar, Wakil Bupati Kobar, Kapolres Kobar, Camat Kumai dan Kapolsek Kumai. Sedangkan pihak yang bersengketa diwakili masing-masing tiga orang.

"Setelah semua bukti-bukti kita pegang, baru akan kita telusuri proses penerbitan SKT-nya,"kata Kapolres Kobar Ajun Komisaris Besar Novi Irawan kepada sejumlah wartawan seusai pertemuan.

Ia melanjutkan semua bukti-bukti kepemilikan kedua belah pihak akan dikumpulkan. Kemudian pihak kepolisian akan melakukan penyelidikan dari awal. Sehingga bisa ditemukan akar permasalahan dari sengketa lahan ini.

Novi berharap semua pihak dapat menahan diri untuk tidak melakukan aktivitas di lahan sengketa. Meski sudah ada larangan dari Pemkab Kobar, pihaknya tetap akan memantau kondisi di lapangan. Hal itu dilakukan untuk memastikan semua pihak telah menghentikan aktivitas di lahan tersebut. "Mengenai pemasangan semacam tanda dilarang beraktifitas di lahan tersebut, itu merupakan kewenangan Pemkab Kobar, nanti akan saya konsultasikan mengenai masalah tersebut."

Ditemui di tempat yang sama penerima kuasa KTUB, Wendi Soewarno mengungkapkan pihaknya meminta supaya sengketa lahan ini cepat diselesaikan. Pasalnya, penyelesaian yang berlarut-larut dikhawatirkan akan memicu kejadian yang tidak diinginkan. "Banyak masyarakat yang sudah tidak tahan dan menginginkan permasalahan ini cepat diselesaikan, saya khawatir jika berlarut-larut, dilokasi akan terjadi hal-hal yang tidak di inginkan." (AL)


 

Wednesday, February 6, 2013

Warga Kembali Duduki Lahan Sengketa

RATUSAN warga yang tergabung dalam Kelompok Tani Usaha Bersama (KTUB) kembali menduduki lahan sengketa di daerah Pangkalan Lima Kecamatan Kumai, Senin (4/2). Mereka melakukan ritual dan memasang portal secara adat agar alat berat tidak menggarap lahan yang disengketakan.

"Kami memasang batas secara adat supaya masing-masing pihak tidak melakukan kegiatan di lahan sengketa,"kata Penerima Kuasa KTUB Wendi Soewarno di lokasi sengketa.

Ia melanjutkan pemasangan batas adat ini bukan bermaksud untuk mencampuri proses yang sedang berjalan. Namun justru membuktikan itikad baik sebagai warga yang beradat untuk mendorong semua pihak menepati perjanjian. Pasalnya, dua unit alat berat milik pengusaha terbukti masih menggarap lahan sengketa. Meski pihak Pemkab Kobar bersama instansi terkait sudah meminta penghentian sementara proses penggarapan lahan. "Kami menghormati proses yang sedang berjalan, tapi buktinya apa? alat berat masih berjalan, berarti Pemkab Kobar memang dilecehkan."

Menurut Wendi, pihaknya ingin menanyakan Izin Usaha Perkebunan (IUP) atau Hak Guna Usaha (HGU) yang dipegang pengusaha tersebut. Apabila benar sudah terbit salah satu atau keduanya, pihaknya akan mempertanyakan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Sebab AMDAL merupakan dokumen yang harus dipenuhi untuk mengurus IUP dan HGU. "Tadi sempat ada insiden, kami dihadang orang yang mengaku dari pihak perusahaan. Kami tidak masalah, hanya saja izinnya mana?"

Dihubungi terpisah Juru Bicara Haji Basit, Muhammad AR mengungkapkan semua pihak seharusnya bersabar dan menahan diri. Pasalnya, proses sedang berjalan dan bukti-bukti legalitas akan saling dipertemukan. "Sebenarnya tidak perlu demo, bukti-bukti akan kita tunjukkan."

Penguatan Kapasitas Kades/Lurah

Sementara itu, Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Kobar Eko Sumarno menilai moratorium penerbitan Surat Pernyataan Tanah (SPT)/Surat Keterangan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SKPT) bukan berarti menghapus kewenangan Kades/Lurah. Seharusnya Pemkab Kobar mengumpulkan Kades/Lurah untuk diberikan pelatihan mengenai administrasi pertanahan yang baik. "Mereka seharusnya dipanggil, diberikan pelatihan mengenai administrasi pertanahan. Bagi yang melanggar diberikan sanksi tapi bukan melarang samasekali karena itu berlawanan dengan Undang-Undang." 

Popular Post